Sabtu, 23 Februari 2019

SENYUM KEKASIH

Moh. Ghufron Cholid
Senyum Kekasih
: Farrohah Ulfa


jalan bahagia
tak dapat kuingkari

jalan airmata
tak terbaca lagi

Junglorong, 24 Februari 2019

Rabu, 30 Januari 2019

Pemimpin Sejati dan Rintangan yang Mesti Ditaklukkan

(Telaah Atas Puisi Thantowi Tohir Berjudul Pemimpin Sejati)
Oleh. Moh. Ghufron Cholid
Puisi bisa menjadi jalan alternatif bagi terciptanya keseimbangan hidup baik berbangsa maupun dalam beragama. Ianya bisa memuat jalan yang indah bagi terciptanya hidup yang bermartabat. Moh. Ghufron Cholid

Berhadapan dengan puisi Thantowi Tohir bejudul Pemimpin Sejati, adalah mencari cara lain yang lebih membuat hidup lebih bermartabat. Thantowi Tohir seakan tak ingin carut marut terus menampakkan taringnya. Bagi Thantowi sudah saatnya bersuara lantang, mengungkap segala yang kerap meraung di kedalaman bathinnya.
Puisi yang kehadirannya selalu dipertanyakan, di tangan seorang Thantowi mulai bisa dirasakan keberadaannya, harapan telah mengalahkan ketakutan dalam dirinya. Kerinduan telah mengalahkan pilu yang telah merias sumsum hidupnya.
Pemimpin Sejati, demikian Thantowi Tohir menai puisinya. Mengenalkan harapannya. Mengasingkan ketakutan dalam dirinya, menguraikan caranya berbahagia dalam menghadirkan sosok pemimpin.
Diungkapnya segala rintangan yang akan bertamu, yang mau tak mau mesti ditaklukkan seorang pemimpin. Yang dengannya lambat laun gelar pemimpin sejati bisa diraih.
Thantowi Tohir, telah menjadi manusia yang merdeka. Sebab kebenaran mesti disuarakan, barangkali alasan inilah yang membuat puisi ini lahir. Mungkin pula lantaran carut marut tak lagi ingin ditumbuhsuburkan di negeri yang sangat dicintai penyair.

Hal-hal yang Mesti Ditempuh Pemimpin Sejati
Membaca puisi Thantowi Tohir, saya bertemu dengan syarat-syarat yang diajukan oleh penyair untuk mendapat gelar pemimpin sejati.
Dalam bait pertama, Thantowi memberikan semacam rambu yang mesti ada pada pemimpin sejati yakni melepas mahkota (sesuatu yang begitu dibanggakan, sesuatu yang dapat menjadikan seseorang bisa membusungkan dada), mengusung amanah (salah satu dari empat sifat rasul yang selalu melekat), titah dan tuah (bisa kita maknai sebagai sosok yang penuh kharismatik).
Bait kedua, penyair menegaskan bahwa pemimpin sejati memiliki jiwa petarung, karena tak jarang rintangan datang menjadi batu penghalang. Pemimpin sejati, tak pernah sepi dari ragam jalan terjal, oleh sebab itu seni menaklukkan masalah tampa masalah mesti dimiliki, atau dalam diksi penyair dituturkan, Banyak kerikil tajam/sekeras batu pualam/merintang jalan/benamkan saja dalam api/jadikan tulang belulang// lantaran bait kedua berisi perkara yang gawat, ianya tampak sebagai wanti-wanti dan di sisi lain tampak seperti perintah maka diksi-diksi yang melekat pada bait kedua bisa dimaklumi. Mengingat sebuah masalah dan solusi yang dihadirkan, tak bisa luput dari diksi-diksi yang tegas, yang memungkinkan menimbulkan persepsi variatif semacam menggurui, atau dengan bahasa yang lebih halus silang pendapatan namun hanya membutuhkan jawaban iya.
Dalam bait ketiga, memuat harapan seorang penyair kepada seorang pemimpin sejati yakni mesti gagah perkasa. Jika dikaji lebih dalam ini merupakan dari saripati ciri pemimpin sejati, yang ada dalam kitab suci al-Qur'an yakni azizun, harisun bikmukminina raufuurrahiem. Dengan kata lain, pemimpin sejati selalu menjadi sosok panutan dan selalu melindungi hak-hak kaum yang lebih lemah.
Penutup
Membaca puisi Thantowi Tohir dalam puisi Pemimpin Sejati, semacam merasakan permen nano-nano, semacam menikmati jalan yang penuh liku yang sangat dinikmati oleh para pembalap dalam memantik adrenalin.
Terlepas plus-minus yang lahir dari puisi ini, paling tidak kita melihat adanya kerinduan seorang Thantowi Tohir tentang sosok pemimpin sejati. Tak hanya itu, kita mendapatkan ciri-ciri pemimpin sejati berikut tantangan yang mesti ditaklukkan.

Paopale Daya, 31 Januari 2019

Selasa, 29 Januari 2019

Imam Bonjol dan PR yang Belum Selesai

(Sebuah Telaah Atas Puisi Bambang Widiatmoko Berjudul Sajadah Batu) 
Oleh Moh. Ghufron Cholid

Berbicara puisi adalah berbicara nafas lain dari waktu, yang di masa yang lain masih menjadi ingatan yang kuat dan menjadi jalan mempertajam kepekaan. Moh. Ghufron Cholid

Bertemu dan berhadapan secara langsung dengan puisi, semacam pertarungan yang tak usai. Saya kerap diserbu rasa penasaran dan tak jarang pula didekap kegelisahan.
Puisi selalu menjadi jalan kesaksian yang antik dari seorang penyair. Ianya bisa menjadi harapan, kecaman bisa pula menjadi jalan menjadikan dari lebih peka dan lebih menghargai perjuangan orang lain.
Bambang Widiatmoko dengan puisinya berjudul SAJADAH BATU, semakin mempertegas anggapan bahwa jiwa yang jawara takkan pernah sujud kepada ketakberdayaan. Jiwanya selalu memiliki pancaran cahaya yang mampu memikat sukma.
Kalau boleh saya ingin mengistilahkan puisi ini sebagai tafsir penyair atas sosok kharismatik bernama Imam Bonjol, jenisnya puisi persembahan jika meminjam istilah penyair Saifuddin Kojeh,  meski tak diimbuhkan hands (:)  selepas judul sebagai tujuan dipersembahkan pada seseorang.
Jiwa yang petarung,  selalu memiliki cara unik dan menarik untuk menunjukkan keistiqamahan dan ini dipotret secara apik oleh penyair Bambang Widiatmoko, Dulu Tuanku Imam Bonjol diasingkan/Dan melakukan salat lima waktu beralas batu//.
Saya pun telah menemukan kunci mengapa puisi ini diberi judul SAJADAH BATU, namun yang lebih penting dua larik ini juga menjadi penegas bahwa bumi adalah sajadah,  tempat seorang hamba menerjemahkan diri sebagai sosok yang memiliki Tuhan yang layak disembah. Di samping itu juga, berfungsi sebagai penegas bahwa sejatinya Allah tidak memberi kerumitan dalam beribadah. Salat bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja sesuai waktu salat yang telah ditegaskan.
Ada yang pelan-pelan membuat saya mengernyitkan dahi,  meski dua larik ini (Kini aku mencoba salat did atas batu itu/Tapi entahlah-bagaimana memaknai sejarah kelu?) menjadi semacam autokritik penyair tetap saja menjadi tamparan yang dahsyat bagi saya selaku pembaca.
Betapa cinta bukan sekedar kata, ianya mesti menjadi laku yang menggugah sukma. Betapa Imam Bonjol memang sangat layak menjadi tokoh dan ditokohkan. Dan betapa jalan cinta yang terang benderang telah dicontohkan oleh leluhur baik sebagai seorang hamba maupun seorang pejuang. Tinggal kita menentukan posisi masing-masing. Pilihan tersebut kembali kepada tiap diri dalam memaknai.
Secara keseluruhan, Bambang Widiatmoko bisa dikatakan berhasil dalam menghadirkan sosok Imam Bonjol selebihnya adalah PR kita dalam menentukan posisi baik sebagai seorang hamba maupun sebagai seorang pejuang.

People Daya, 30 Januari 2019

Sisi yang Paling Artistik dari Cinta

(Sebuah Telaah Atas Puisi Bairus Saliem Berjudul Demokrasi Cinta)
Oleh. Moh. Ghufron Cholid*

Kali ini saya memilih puisi karya Bairus Saliem berjudul Demokrasi Cinta,  sebuah puisi yang dilahirkan tahun 1999, berikut saya posting utuh puisi, agar bisa kita nikmati,
"Demokrasi Cinta"

Dari cinta aku lahir
Oleh cinta aku diasuh dan dibesarkan
Untuk cinta kemudian aku pulang ke asal aku diciptakan

Al Amien, 1999
Puisi yang dihadirkan dalam sebait berisi sebuah pengakuan tentang Cinta. Bahwa hakikatnya penyair lahir dari Cinta. Jika Nabi Adam diciptakan dari tanah maka generasi berikutnya lahir dari cinta. Cinta yang suci yang diawali restu dan doa-doa paling kasmaran.

Bisa juga kita maknai sejatinya kelahiran yang ingin dikenalkan penyair adalah kelahiran yang membahagiakan.
Kelahiran yang tak menimbulkan pengingkaran. Kelahiran yang jika diumumkan menumbuhkan rasa syukur baik dari pihak yang mengumumkan maupun yang menerima pengumuman kelahiran.
Bairus Salim​​ juga mengungkapkan bahwa penyair diasuh dan dibesarkan dengan cinta maka memandang hal demikian,  rasanya tidak berlebihan bila dikategorikan bahwa ibu madrasah pertama bagi pendidikan anak.
Bisa jadi lahirnya puisi ini sebagai bagian proses bersyukur penyair atas lahirnya ke dunia. Puisi ini pula menjadi semacam jalan ungkapan syukur,  sekaligus penegasan betapa bertuahnya cinta.
Bisa juga puisi ini berfungsi sebagai dalil tentang betapa pentingnya, cinta diperkenalkan sebagai urat nadi bagi kehidupan, agar tak ada lagi kelahiran yang terabaikan.
Di tangan Bairus Saliem dunia yang luas dirangkum dengan demikian padat dalam sebait. Jika membaca sampai tuntas puisi ini, kita seaman mendapat kode alam betapa pendidikan pesantren ikut andil dalam pembuatan puisi ini. Maknanya begitu dalam dan begitu tegas dalam pengakuan.
Puisi ini semacam mengandung saripati firman Allah yang menegaskan, "Tiap sesuatu pasti binasa kecuali Allah yang abadi."
Betapa prinsip ketawadluan dan ketaatan terlukis secara apik dalam puisi yang diperkenalkan oleh Bairus Saliem. Penyair telah melakukan takaran diksi yang seimbang. Barangkali tualang bathin seputar ilmu agama yang ditekuni telah meresap,  masuk menjadi tulang rusuk.
Semakin saya baca berulang puisi ini, semakin saya alami makna dari cinta yang kian dalam. Puisi ini dalam keterangbenderangan menyimpan makna yang artistik dari cinta.

Paopale Daya,  30 Januari 2019
*Pendiri Pesantren Penyair Nusantara di FB, yang juga penikmat puisi.

Selasa, 15 Januari 2019

Rupa Kematian di Mata Penyair Rini Intama



Oleh :  Moh. Ghufron Cholid

Puisi bisa juga menjadi salah satu cara seseorang penyair untuk mengabadikan seluruh perasaannya agar senantiasa abadi. Perasaan ini bisa berupa perasaan senang maupun benci, bahagia maupun sedih. Hal semacam ini menunjukkan bahwa puisi sangat dekat dengan kehidupan kita. Puisi bisa menghadirkan segala pujian maupun gugatan.


Kali ini Rini Intama hadir dengan puisi yang bertema reliji. Puisi yang melukiskan betapa kematian itu, sangat rahasia dan tak ada seorang pun yang bisa mengetahui hari kematiaannya.


Puisi kematian yang diusung kali ini, adalah puisi kematian yang tak terkesan menggurui. Puisi kematian yang hanya mencoba getar jiwa dalam memaknainya. Marilah kita sejenak meluangkan waktu untuk bersama-sama membaca dan menelaah puisi di bawah ini;



LIMA NOVEMBER



Lupa pada warna senja yang sebentar lagi turun

Suara ibu memanggilku hingga suara serak berdahak

Lamat menghilang dalam pekat awan yang berserak

Secangkir air mata panas tumpah menyiram hatiku



Malam, kutanya di mana ibu?

Ayah berbisik, sudah di surga sore tadi nak.



November 2010

(diambil dari buku Gemulai Tarian Naz karya Rini Intama halaman 62)


Ketika membaca judul puisi di atas awalnya saya hanya menerka-nerka apa keistimewaan November di mata batin seorang Rini Intama sehingga harus diabadikan dalam puisi.


Perlahan saya mencoba mentadabburi aksara demi aksara yang disusun dan dijadikan puisi dengan dua bait yang utuh, dua bait yang mampu menjawab pada hakekatnya segala sesuatu akan menjadi fana tanpa pernah menduganya.



Dalam bait pertama yang hanya terdiri dari empat baris, Rini Intama membuka baitnya dengan sebuah sapaan yang membuat kita tersadar dari lena hidup yang kita jalani. Lupa pada senja yang menjadi matahari merebahkan diri. Lupa pada senja yang menjadi tempat kita kembali.


Bait pertama secara utuh hanya menggambarkan suasana jiwa saat mendebarkan dalam menghadapi kematian, saat-saat yang penuh dengan kegetiran. Saat-saat yang membuat ruh merenung kembali tentang keberadaan yang dijalani. Bait pertama disampaikan secara jujur dan tidak klise dengan membumbuhi sedikit metafora.


Pada hakekatnya kematian selalu memberikan cuaca hati yang beragam, bagi yang mengalami kematian menjadi tanda pintu ketiga dalam sebuah perjalanan yang dilewati hamba telah dilalui. Pada pintu ini, biasanya seorang hamba hanya tinggal menunggu keputusan di padang mahsyar. Keputusan tentang segala amal. Dalam pintu ketiga perjalanan ini, bisa jadi penanda amal baik buruk seseorang dalam kamar baru yang dihuni. Apabila kelakuan baik yang lebih mendominasi paling tidak hamba yang berada dan telah memasuki pintu ini sangat riang gembira. Tidak merasakan gulita di kamar yang baru namun bagi yang banyak memiliki dosa menjadi tempat yang sangat menyeramkan.


Bait kedua dalam puisi ini, lebih memfokuskan pembahasannya pada kebimbangan seorang penyair dalam mencari tentang kabar keberadaan ibunya, Orang yang sangat dicintai dan sangat dirindui. Pertanyaan seperti ini wajar terjadi dan sering kita saksikan dalam hidup ini, utamanya saat kita sangat merindukan sosok ibu yang sering kita lihat, tiba-tiba hilang tanpa sebab.


Kegelisahan penyair dalam mencari sosok ibunya, yang tak kunjung mendapatkan jawaban, dari malam yang mejadi tempat pertanyaan. Malam yang menjadi tempat kesunyiaan untuk menanyakan hakekat keberaan sosok orang yang dicintai, akhirnya penyair mulai merasa lega dengan adanya jawaban tiba-tiba dari sosok bernama ayah. Ayah yang sangat memahami psikologi keadaan anak yang kehilangan ibunya sebisa mungkin akan mencari bahasa yang lebih menghibur buah hatinya, Ayah berbisik, sudah di surga nak sore tadi. Betapa indah penyair menutup baitnya.


Dari segala uraian yang telah saya paparkan, paling tidak Rini Intama dalam puisinya berjudul LIMA NOVEMBER telah berhasil menyampaikan tentang risalah kematian. Rini berbicara kematian namun tak terkesan menggurui. Kematangan penyair dalam menyampaikan imajinasi telah teruji dengan baik. Demikian kajian kematian yang bisa saya paparkan dalam puisi yang ditulis oleh penyair Rini Intama.


Terlepas dari plus minusnya penyampaian biarkan sejarah yang membahas dan menjelaskan kepada generasi berikutnya. Akhirnya saya haturkan selamat membaca, menelaah dan mengapresiasi. Untuk penyairnya saya haturkan alfu mabruk


Kamar Hati, 13 Juni 2011

PUISI DAN PENYAIR BERNAFAS CINTA

Telaah Atas Cara Penyair Mahroso Doloh (Penyair Patani) dan Penyair Kurnia Hidayati Mengungkap Cinta)
Oleh Moh. Ghufron Cholid
Mahroso Doloh
Kiblat Cinta

Kemana akan kusimpan sebuah cinta
jika aksara tak menjadi kata-kata
bahkan terucap hanya terpaksa
menjadi ombak hanya ketika

dalam puisi menggunung cinta
mencari arah tak terhingga
tak ingin cinta;
yang menjadi titi neraka

dengan cinta; beribu cinta
membuat taubat di sela-sela malam
menderai gerimis hitam
menjadi secawan zamzam

dengan cinta; beribucinta
angin, panas, dan hujan
semua terasa pada telubuk kalbu
hanya mencari kiblat cinta

Patani, September 2014

Kurnia Hidayati
Batang, Suatu Malam

lengang jalan ini, senantiasa memajang lanskap muram
lampu-lampu berbaris haru
mengeram masygul dan sesunggukan, menangisi anak-anak puisi yang piatu

mobil-mobil melintas menyuguhkan suara klakson yang lekas
dirampas udara tanpa aba-aba
seperti pekik tajam bunyi yang memecah membran sunyi
ketika malam bagai lambaian tangannaik turun,
mengingkari detik jam yang berdegup
diintai mimpi

Batang, 2014
Dalam sebuah buku judul merupakan bagian inti yang menjadi sorotan oleh sebab ianya begitu memiliki peranan vital dan dalam judul pulalah seorang penyair dituntut memiliki cita rasa seni.

Ada yang mencoba peruntungan dengan memberikan judul yang sudah familiar sehingga judulnya mudah diingat oleh pembacanya, ada pula yang membuat judul yang kadang tak diambil dari puisi yang ada di dalam buku guna untuk menyedot perhatian.

Tampaknya Mahroso Doloh dan Kurnia Hidayati adalah dua penyair yang memiliki cita rasa yang sama yakni memilih salah satu puisi dari sekian puisi yang ada dalam buku untuk judul buku. Yang berbeda adalah Mahroso Doloh lebih memilih judul buku yang mudah diucapkan dan mudah diingat seperti Kiblat Cinta, sementara Kurnia Hidayati mempertaruhkan seni judul yang menarik dan mengundang penasaran sebab ianya jarang kita dengar dalam keseharian yakni Senandika Pemantik Api.

Dalam tulisan ini saya memilih satu puisi milik Mahroso Doloh sebab puisi tersebut adalah puisi yang dijadikan judul buku lewat pertimbangan bahwa Kiblat Cinta adalah puisi yang menjadi pusat atau intisari pandangan penyairnya dalam mengurai hidup dari sisi cinta. Namun dalam buku senandika pemantik api karya Kurnia Hidayati saya sengaja memilih puisi Batang, Suatu Malam sebagai bahan bahasan tulisan ini karena pertimbangan Batang adalah tanah kelahiran penyair dan saya ingin mengungkap pandangan penyair atas tanah kelahirannya.

PUISI YANG MENGUNGKAP MISTERI

KIBLAT CINTA adalah judul buku puisi Mahroso Doloh (Penyair Patani), yang kini bermukim di Purwokerto. Buku ini terdiri atas empat sub bab yakni 1. Lorong-lorong Cinta berisi 50 puisi, 2. Untukmu Patani berisi 11 puisi, 3. Untuk Pohon Cinta berisi 7 puisi, 4. Catatan Indonesia berisi 32 puisi.

Mahroso Doloh terbilang penyair yang menyorot tanah airnya Patani juga menyorot tanah rantaunya bernama Indonesia meski porsi sorotan pada Patani hanya berisi 11 puisi yang diletakkan khusus dalam sub bab Untukmu Patani dan 32 puisi membahas Indonesia yang diletakkan khusus di sub bab Catatan Indonesia secara porsi isi lebih banyak membahas rupa Indonesia dalam puisi, tak menutupi semangat juang Mahroso untuk memulihkan cinta Patani dan upaya meredakan hujan hujan airmata dengan jalan puisi.

Kiblat Cinta sengaja saya pilih sebagai bahan bahasan karena dalam hemat saya puisi ini mewakili beragam pandangan dari puisi-puisi yang dilahirkan dan diabadikan dalam buku bernama Kiblat Cinta yang memiliki misi utama untuk menebar cinta, meredakan hujan airmata dan menggugat ketimpangan yang ada.

Senandika Pemantik Api adalah buku puisi karya Kurnia Hidayati, seorang penyair perempuan kelahiran Batang. Dalam mengenalkan pandangannya, Kurnia Hidayati juga membagi puisi-puisinya ke dalam beberapa sub bab yakni 1. Senandika berisi 16 puisi, 2. Petilasan Waktu berisi 11 puisi, 3. Labirin Sunyi berisi 19 puisi, 3. Ziarah Kembang Kamboja berisi 7 puisi, 4. Tulang Rusuk Payung berisi 5 puisi.

Mahroso Doloh (Penyair Patani) dan Kurnia Hidayati (Penyair Batang), memiliki kesamaan yakni mengambil judul buku puisi dari salah satu puisi yang dimuat ke dalam buku. Kesamaan kedua membagi bukunya ke dalam empat sub pembahasan. Namun dalam pembahasan ini saya memilih puisi Kiblat Cinta karya Mahroso Doloh dan Batang, Suatu Malam karya Kurnia Hidayati atas pertimbangan, Kiblat Cinta merupakan intisari dari tema cinta yang diusung oleh Mahroso Doloh dalam bukunya, sementara Batang, Suatu Malam karya Kurnia Hidayati dipilih karena Batang merupakan tanah kelahiran penyair dan mengungkap nafas penyair akan tanah kelahirannya menjadi hal yang menarik.

Kiblat Cinta disampaikan dalam empat bait yang membahas tentang cinta berikut kemelut yang menyertainya sementara Batang, Suatu Malam oleh Kurnia Hidayati disampaikan dalam dua bait yang menggambarkan hidup di Batang beserta kegetiran yang meriasnya.

Dalam bait pertama Mahroso Doloh, penyair dari Patani menulis, Kemana akan kusimpan sebuah cinta/jika aksara tak menjadi kata-kata/bahkan terucap hanya terpaksa/menjadi ombak hanya ketika//

Ada masa getir di mana seorang manusia tak henti ditumbuhi bimbang, ianya menemukan jalan buntu dan kehilangan cara terbaik dalam mengekalkan cinta. Masa sulit tersebut membuat manusia dalam posisi serba salah. Keterpaksaan yang dipelihara hanya menimbulkan gejolak dalam jiwa dan tak ada ketenangan menerpa.

Dalam bait kedua Mahroso Doloh mengungkap kemungkinan dan harapan yang hendak diraih, ianya pun menulis, dalam puisi menggunung cinta/mencari arah tak terhingga/tak ingin cinta;/yang menjadi titi neraka//

Kemungkinan tentang adanya cinta yang menggunung diungkapkan Mahroso Doloh bermukim dalam puisi. Puisi dipercaya bisa menjadi jalan alternatif untuk menemukan dan menebarkan cinta dengan harapan tak ada lagi jalan kepedihan memanjang dan dipajang.

Bait ketiga merupakan ketegasan yang ditampakkan Mahroso Doloh dalam menepikan duka, mengusir segenap kemelut dan menukar kamar yang gelap, pengap dengan jalan cahaya, yakni menjadikan sela-sela malam sebagai waktu bertaubat. Sela-sela malam bisa kita tafsirkan waktu malam bisa pula kita tafsirkan saat melakukan kesalahan kita mengkondisikan diri untuk bertaubat, demikian yang ditegaskan oleh Mahroso agar kita tak terlalu larut dalam jalan kelam.

Bait keempat adalah bait pamungkas yang menggambarkan kehidupan manusia yang tak henti berada dalam pencarian dan yang menjadi pusat pencarian adalah kiblat cinta. Mengapa mesti Kiblat Cinta yang tak pernah usai dicari karena Kiblat Cinta adalah bagian tervital dari hidup. Jika dalam agama Islam kiblat shalat adalah ka'bah maka sejatinya kiblat cinta adalah Allah sebab ianya pusat segala cinta. Sebab ampunanNya lebih besar dari amarahNya, sebab karuniaNya tak pernah tuntas diceritakan meski laut jadi tinta dan langit jadi kertasnya.

Intisari dari puisi kiblat cinta adalah gambaran manusia dalam mencari kiblat cinta dan ketika jalan yang ditempuh sangat kelam, sangat menakutkan maka taubat bisa dijadikan jalan untuk menemukan kiblat cinta sementara kiblat cinta itu sendiri adalah Allah.

Kurnia memotret kehidupan di Batang dalam dua bait. Ada rupa perih pedih yang diperkelkan semacam suasana hidup yang muram. Ada gambaran yang menarik di samping Batang yang muram yakni lampu-lampu berbaris haru. Lalu muncul dalam benak seperti apakah lampu-lampu berbaris haru? apakah ianya kiasan tentang perjuangan di lampu merah tentang bocah-bocah yang tak menyerah pada ketakberbadayaan atau ibu-ibu yang mempertaruhkan diri berjuang demi kembali menghadirkan senyum putra-putrinya atau pula lukisan para lelaki yang tak lelah berjuang demi membahagiakan orang-orang yang dicintai sehingga ianya melahirkan haru bagi tiap mata hati yang berhasil terketuk oleh tangan takjub. Tak hanya itu, Kurnia juga mengabarkan  tentang nasib anak-anak puisi yang piatu di bait pertamanya, berikut penuturan Kurnia lengang jalan ini, senantiasa memajang lanskap muram/lampu-lampu berbaris haru/mengeram masygul dan sesunggukan, menangisi anak-
anak puisi yang piatu//

Ternyata Batang juga memiliki rupa yang dirias kesibukan  dan kehidupan yang tak pernah sepi dari pertarungan-pertarungan yang memilukan dan ratapan bocah-bocah terabaikan, yang dalam  penuturan penyair digambarkan menangisi anak-anak puisi yang piatu.

Dalam bait kedua, Kurnia menuturkan kehidupan di Batang yang sudah  modern, mobil-mobil melintas menyuguhkan suara klakson yang
lekas
dirampas udara tanpa aba-aba
seperti pekik tajam bunyi yang memecah membran sunyi
ketika malam bagai lambaian tangannaik turun,
mengingkari detik jam yang berdegup
diintai mimpi

Kehidupan modern tak bisa ditolak kiranya demikian yang hendak ditegaskan oleh Kurnia dan hal itulah yang kini dialami oleh Batang, tempat penyair Kurnia dilahirkan. Di sisi yang lain Kurnia juga mengungkap keprihatinan pada Batang sebab kemodernan menelan keakraban, harta warisan moyang yang paling mahal.

Madura, 4 Juli 2015
Biodata Penulis
Hanya seorang penikmat puisi, yang lahir dan dibesarkan di dunia pesantren.

Narudin dan Keterjebakan Penyair Dalam Wacana yang Dipersepsikan Sendiri


Oleh Moh. Ghufron Cholid

Kamis, 3 Oktober 2018 adalah pertemuan saya dengan puisi berjudul Penyair karya Narudin Pituin dalam buku puisi yang diberi nama Di Atas Tirai-tirai Berlompatan, kabarnya buku ini sempat memperoleh anugerah CHS 2018, namun saya tak hendak mengulas  bukunya secara keseluruhan melainkan membahas puisi  dilabeli nama Penyair.

Penyair adalah sebuah bentuk penghargaan yang sangat artistik sehingga dalam pandangan Islam keberadaan penyair begitu disorot, kendati dalam kenyataannya, Penyair tak pernah ditemukan dalam tanda pengenal resmi  di dalam maupun di luar negeri. Baik di dalam E-KTP maupun di pasport.

Saya ingin mengenal lebih dekat apa yang disebut penyair di mata seorang Narudin Pituin yang kerap ucapannya maupun tulisannya menjadi sorotan, terlepas dari pro dan kontra yang dilakukan penyairnya, itu merupakan bidang yang lain, sebab tulisan ini disajikan tak untuk menyoroti penyairnya melainkan menyoroti penyair yang diwacanakan dalam puisinya.

Puisi ini dimuat di Majalah Sastra Horison, Tahun XLVIII, No. 4/2014, April 2014) dan diletakkan dalam antologi puisi tunggalnya di hlaman 40. Tersaji dalam satu bait.

Narudin menulis Penyair tak pernah menulis puisi/dengan tangan/dengan biji cahaya atau buah kegelapan./ bila kita membaca puisi ini secara berulang, tampaknya Narudin menempuh jalan akrobat bahasa, tanda titik adalah jeda yang lama dan penanda bahwa sebuah pandangan telah usai diutarakan.

Membaca larik-larik yang saya hadirkan secara berulang, tampaknya kita harus berpikir keras utuk memahami maksud larik-larik ini dihadirkan. Seakan ada konsentrasi yang begitu pecah. Kalau tidak mau dikata penyair mengalami kebuntuan ide.

Yang muncul berikutnya adalah pertanyaan jika memang benar penyair tak pernah menulis puisi dengan tangan, dengan biji cahaya atau buah kegelapan? Lalu dengan apa penyair menuis puisi? Pertanyaan kedua kenapa penyair menlis atau sekan memberi pilihan kalau tidak biji cahaya (kebaikan) ya buah kegelapan (kejahatan atau julukan kelam lainnya.

Kendati penyair mengungkap maksud kegelapan dan cahaya di tiga larik berikutnya menurut pembacaan saya belum membri jawaban. Narudin masih terjebak dalam apa yang diwacanakan.

Lalu Narudin menulis, Penyair menulis puisi dengan penglihatan baru/dan sedikit Cahaya. Dua larik penutup ini, paling tidak kegamangan Narudin dalam mempersepsipkan penyair menulis puisi mulai menemukan titik terang.

Barangkali yang dimaksud menulis puisi di sini adalah cara penyair mendapatkan ide, kalaupun dipersepsikan demikian jika kita kembalikan kepada tiga larik pembuka, tetap saja Narudin masih menemukan jalan buntu dengan apa yang telah dipersepsikan. Bukankah penglihatan baru dan sedikit Cahaya juga merupakan bagian dari biji cahaya (mata hikmah).

Paopale Daya, 3 Oktober 2018
Moh. Ghufron Cholid dalah namapena Moh. Gufron, S.Sos.I, seorang pecinta puisi yang pernah menjadi bagian dari Sanggar Sastra Al-Amien (SSA). Alamat Rumah Pondok Pesantren Al-Ittihad Junglorong Komis Kedungdung Sampang Madura. Hp 087850742323

MENGGAMBAR DUNIA PEREMPUAN DAN PERGOLAKAN BATINNYA

           Novy Noorhayati Syahfida, Penyair

Oleh. Moh. Ghufron Cholid

Membaca puisi PREMPUAN KEDUA karya Novy Noorhayati Syahfida penyair Tangerang memberikan saya kembara yang penuh pergolakan batin.

Perempuan yang penyair mencoba menggambar dunia kaumnya dengan memposisikan diri menjadi perempuan kedua dalam bercinta.

Sebuah ide yang sangat kental dengan wilayah sensitif dan tak banyak diekspos namun Novy tak ingin pandangan ini dirasakan sendiri, Novy seakan tak mau nasib perempuan kedua menjadi buah bibir tanpa pernah diketahui keperihan yang dialami.

Perempuan yang selalu menjadi yang pertama dalam bercinta, pernahkah membayangkan menjadi perempuan kedua?

Perempuan yang selalu menguasai cinta seutuhnya dari suaminya, yang tak rela ada tempat perempuan lain di bilik hati, pernahkah memiliki kepekaan dan kepedulian yang tinggi untuk sedikit berbagi bahagia, semisal memberikan ruang pada istri kedua untuk mendapatkan porsi yang sama dalam berbakti dan mengabdi pada suami yang sama, tentu sangat sulit, kalaupun ada bisa dihitung jari.

Dalam al-Qur'an perihal kehidupan berumah tangga laki-laki mendapat perlakuan istimewa yakni bisa beristri empat, itulah di masa Islam datang lain lagi masa sebelum Islam menikah berapapun boleh, tentu perlakuan ini secara kasat mata tidak adil bagi perempuan, namun agama Islam pun memperhatikan perasaan perempuan, maka jika tidak mampu berlaku adil cukuplah beristri satu, barangkali inilah yang lebih melegakan hati perempuan.

Dalam kitab bulughul maram pernah dikisahkan bahwa ada sahabat yang memiliki istri 10 ketika ada pengaduan pada nabi maka nabi menganjurkan cukup empat saja, pertimbangan demi pertimbangan diambil hingga akhirnya sahabat mentalak 6 orang istrinya dan hanya memilih istri yang lebih layak.

Islam sangat ketat dalam menjaga kehormatan perempuan agar tidak selalu menjadi kambing hitam atau kelinci percobaan dalam bercinta.

Islam begitu memuliakan perempuan dalam hal percintaan terlebih dalam hubungan yang sangat serius yakni menjalin hubungan untuk hidup dalam ikatan suami istri.

Mulai dari taarruf, tunangan sampai pernikahan diatur begitu ketat agar kaum perempuan tidak dirugikan.

Dalam masa taarruf (perkenalan), laki-laki hanya diperkenankan melihat wajah dan telapak tangan, jika ada hal-hal yang meragukan terkait dengan organ tubuh yang dimiliki pasangan maka pihak laki-laki harus mengutus mahramnya atau perempuan yang dapat dipercaya untuk melihat bagian-bagian yang paling rahasia sehingga keraguan tersebut bisa hilang dan hubungan tetap berlanjut.

Perempuan yang sudah dilamar tak boleh dilamar oleh laki-laki kedua tanpa persetujuan pihak pertama atau tanpa ada kabah bahwa perempuan tersebut tidak lagi berstatus tunangan.

Lain lagi jika hendak ingin menikah maka yang harus ditempuh pihak laki-laki jika hendak menikahi perempuan perawan maka harus atas persetujuan orang tua dan perawan yang bersangkutan namun jika janda maka harus persetujuan janda tersebut, meski tanpa persetujuan orang tua pihak perempuan pernikahan masih bisa dilaksanakan.

Mengingat pernikahan adalah hal yang sangat sakral dalam bercinta maka muruah pernikahan sangat dijaga ketat oleh ajaran agama Islam.

Kalau mau menikah haruslah dengan yang sekufuk (setara) hal ini untuk menghindari segala kemungkinan yang tak dikehendaki.

Untuk menjadikan pernikahan bermartabat maka dikabarkan kepada pemeluk agama Islam bahwa talak itu halal namun paling dibenci Allah.

Pemahaman seperti ini perlu diberitahukan agar tiap diri yang menjalani pernikahan tidak main-main. Baik laki-laki dan perempuan akan memiliki bahan pertimbangan untuk lebih memuruahkan pernikahan.

Talak dalam Islam hanya diperbolehkan sebanyak 3 kali, hal ini dimaksudkan agar pasangan suami istri dapat lebih bijak dalam menentukan masa depan keluarga.

Jika talak sudah mencapai 3 kali maka hubungan suami istri tak dapat dilanjutkan lagi meski setelah talak 3 kali ada keinginan rujuk kembali karena cinta kembali menggebu, tentu untuk rujuk atau merajut cinta tak semudah membalikkan telapak tangan.

Perempuan yang sudah ditalak 3 kali oleh suami tidak bisa dinikahi oleh mantan suaminya yang sudah mentalaknya kecuali perempuan tersebut harus menikah lagi dengan lelaki lain yang disebut mahallil(suami pengganti) sebagai bonus dari agama bagi perempuan bagaimana menjadi istri baru dari suami yang baru.

Kalau ada kecocokan dan mahallil mau melanjutkan hubungan hingga seumur hidup maka talak takkan terjadi dan menikah lagi dengan lelaki yang sudah mentalak 3 kali pun takkan terwujud. Namun jika mahallil mentalaknya maka perempuan tersebut bisa menikah lagi dengan lelaki yang pernah mentalaknya 3 kali.

PEREMPUAN KEDUA

kulepas kau tanpa air mata
tanpa kata berpisah
kubungkam kata-kata
agar sepi tak terlalu jauh singgah

kubunuh kerinduan demi kerinduan
sebab jarak adalah kutukan kematian
senantiasa menggoda
di saat kau-aku jauh dari mata

kuusap nyeri yang merasuk di dada
kutandai luka dan bahagia saat bersama
karena aku hanya perempuan kedua
yang tak pantas mengharap apa-apa

Tangerang,2014

WATAK DASAR MANUSIA DAN SKETSA KEHIDUPAN KEDUA


Oleh Moh. Ghufron Cholid

Berhadapan dengan puisi FARUK TRIPOLI berjudul
MAKA HIDUP PUN ABADI di malam yang hening, saya serupa diajak mengembara ke alam semesta tepatnya merenungi kembali gejala alam. Merenungi daun yang jatuh atau merenungi kibas sayap burung yang kemudian mendarat kembali.

Membaca bait pertama Faruk Tripoli saya seakan mendapat isyarat dalam daun yang jatuh atau dalam kibas burung yang mendarat kembali, perihal kehidupan yang tak abadi.

Latar suasana yang terdapat dalam puisi Faruk menuntun saya merenungi muasal kehidupan. Saya pun teringat penolakan iblis yang tak mau mengakui manusia sebagai pemimpin di bumi dikarenakan iblis merasa lebih sempurna dari manusia, iblis yang tercipta dari api tak mau tunduk pada manusia yang tercipta dari tanah, berikut latar suasana yang dibangun Faruk Tripoli.

apa artinya daun jatuh
atau sekedar kibas sayap burung
lalu mendarat kembali
dalam hening
dalam dingin
tanah lembab
lalu mengendap
begitu perlahan

Jadi tanah adalah muasal kehidupan manusia, benarkah manusia tercipta dari tanah? Mempertanyakan sesuatu yang tak rasional adalah watak dasar manusia, oleh sebab itu dalam surat al-baqoroh kita sangat dianjurkan mengimani yang ghaib itu ada, yang tak rasional itu benar adanya, paling tidak ketika kita menggosok kulit berkali-kali lalu menciumnya maka aroma tanah begitu akrab, ini bukti bahwa tanah tak terpisahkan dari diri kita sebab tanah punya hubungan erat dengan kita jadi benarlah muasal manusia tercipta dari tanah.
Lalu penyair mulai mengurai tentang keadaan kita yang selalu berada dalam perangkap senyap. Akhir cerita dari hidup berujung pada kematian dan kematian identik dengan kesenyapan, seperti yang dikabarkan penyair di bait keduanya.

seperti akhir cerita
selalu memerangkap kita
dalam senyap
membuat sesaat terlelap
sebelum kicauan burung hinggap di daun telinga
lalu merayap
dengan rangkaian gerbong dan getaran suara
apa saya

Rupanya Faruk tak hendak berlama-lama dalam senyap, bait ketiga ia sajikan untuk menggambarkan hidup di masa muda, hidup yang penuh semangat, penuh rasa penasaran, gambaran bait ketiga barangkali bisa lebih bermanfaat bagi yang hidup, seumpama talqin yang dibacakan di sekitar kuburan dan didengarkan telinga-telinga yang berada di sekitar makam untuk mendapatkan pelajaran kehidupan yang lebih baik.

lalu cahaya
mengasah pucuk pohon
dan kita pun berloncatan
ke tengah cerita
masa-masa muda yang bergelora
untuk berselancar
di atasnya

Barangkali pula bait ketiga mengisahkan keadaan yang dialami mayat di dalam kubur, mendapat cahaya bagi yang melakukan kebaikan semasa hidup, mendapat keriangan seperti saat masih muda, segala praduga ini bisa saja mengandung kebenaran.

Bukankah cahaya, atau tempat yang lapang juga merupakan hadiah atas amal baik bagi manusia yang telah wafat. Bukankah alam kubur adalah miniatur bahagia atau duka yang akan didapat oleh manusia yang telah meninggal bergantung amal perbuatan.

Lalu bait keempat penyair Faruk Tripoli mencoba menguak watak dasar manusia yang pelupa, yang buta (nurani yang tertutup lantaran belum dapat hidayah), mati rasa (melukiskan keadaan mayat) yang tak lagi merasakan perjuangan untuk meraih segala yang diinginkan.

dan lupa
dan buta
dan mati rasa
begitu tak menyangka
dari bawah kubur daun-daun itu
dari dingin tanah basah yang senyap
sebuah tunas yang menggeliat
merangkai jalan cerita
agar berderap ke akhir
yang sama

Kematian adalah penanda bahwa hidup telah berakhir, bahwa perjuangan telah berakhir bahwa yang bisa menolong hanyalah amal perbuatan yang baik meliputi sedekah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakan orang tua.

Gambaran cerita akhir yang sama yang coba dikuak oleh Faruk Tripoli, betapa bait keempat tiap manusia memiliki akhir cerita yang sama dalam kubur yakni menunggu keajaiban yang lahir dari 3 perkara yang tak terputus amalnya. Dengan kata lain akhir yang sama merupakan gambaran bahwa kubur tempat penantian sebelum kita mendapatkan hadiah surga atau neraka atas amal yang kita lakukan semasa hidup.


karena kematian
sekedar jembatan yang sama
bagi abadi hidup selanjutnya
dan kebangkitan tak akan pernah lama
terjadi di tahun ketiga
setelah tahlil berakhir
setelah semua orang lupa
dan kembali bahagia

Adalah hal yang tak bisa disangkal bahwa kematian adalah jembatan fana bagi kehidupan selanjutnya, hidup yang diperoleh selepas kematian yakni kebangkitan.

Selepas mati manusia akan dihidupkan kembali menuju kehidupan yang lebih abadi, kehidupan yang akan mendapat balasan yang layak atas perbuatan semasa hidup.

Maka saya mendapatkan jawaban yang kongkrit atas judul puisi MAKA HIDUP PUN ABADI dinisbatkan pada kebangkitan selepas kita mati. Hidup abadi di surga atau neraka itulah yang akan dialami tiap manusia.

Bait pamungkas Faruk tak hanya mengurai yang dialami manusia selepas mati, melainkan juga membahas kebiasan yang dilakukan manusia yang masih hidup menyikapi kenalan atau kerabat yang telah mati yakni melupakan kesedihan dan kembali bahagia.

Madura, 13 Mei 2014

Antologi Puisi Mahrajan ke-2 di Malaysia)

KHULUQ

Takkan pernah sampai khuluqku
Kecup mahabbahMu
Saat aku, debu
Berdansa ikut irama angin

Takkan pernah sampai khuluqku
Gapai haqqul yakin
Saat aku, basah
Tenggelam dalam laut resah

Takkan pernah sampai Khuluqku
Takkan pernah Sampai
Saat aku, nurani
Padam, sepanjang desah waktu

Jakarta, 3 Sepetember 2013

TERBIT DI RADAR SURABAYA (1 MEI 2016)

Moh.GhufronCholid
MATA KEKASIH

inimataku, kekasih
mata yang tulus
mata yang takmembius

tatapmataku, kekasih
mataku; rumah
tempatmuberteduh

inimataku, kekasih
masuk, masuklahseutuh
senyummu yang rekah

Junglorong, 2016

Moh.GhufronCholid
AKULAH SENJA YANG RANUM

akulah senja yang ranum
bergegas, bergegaslahkaupulang
cukupkantualang
teguk, tegukakusepenuhsenyum
barangkalipitam
di matadanhatimu
taklagimenderu
hatimu, taklagiseteru
Junglorong, 2016

Moh.GhufronCholid
ANUGERAH TERINDAH

kurundukkanlangitresah
takkankubiarkanangingundah
betahdalamtubuh
dalamruh
dan kubiarkan tatap mahabbah
menembus sukmamu
menyingkirkan benalu
dalam dirimu
sebab kau
anugerah terindahku

Junglorong, 2016

Moh.GhufronCholid
KELAK PERJUMPAAN TIBA

redam, redamlahlajurindu
biarkanmengalirbersamawaktu

kelakperjumpaantiba
bibirku, manismadu
kankulumatsegalapilu
yang bersarang di jiwamu

Biar, biarlah bibir restu
basah.Sampai hadirmu lengkapi nafasku

Junglorong, 2016

Moh.GhufronCholid
PENGABDIAN

kutandai kau
dalam tiap debar
dalam tiap zikir
sebab kau
imamku

kutandai kau
dalam tiap senyumku
kusambut hadirmu
sepenuh cintaku

menetap, menetaplah
dalam kamar ibadah
: cintaku
aku, rumahmu
selepas kau pulang

Junglorong, 2016

Moh.GhufronCholid
MALAM YANG RUNCING

malam, runcing
anginmenukarkenang

bulan, berlayarpelan
tegaskanpergantianrindu
hati yang pilu
: tabah yang kalah
padaletih yang rintih

malam, runcing
hilangbentuk
saatkeningmubegitukhusyuk
penandasembahyang
Junglorong, 2016

Moh.GhufronCholid
DENGAN APA HARUS KUNAMAI

dengan apa harus kunamai
detak yang begitu murni
seperti air terjun
tak pernah ragu menentukan pilihan
semisal laut
begitu piawai taklukkan gelombang kemelut

dengan apa harus kunamai
detak yang begitu murni
selaksa mentari tak letih
menumbuhkan kehidupan baru
tanpa tunduk pada hujan pun kemarau

Junglorong, 2016

Senin, 14 Januari 2019

TIGA PUISI TERBIT DI UTUSAN BORNEO MALAYSIA 1 FEBRUARI 2015


PERJALANAN AIRMATA
: Tragedi AirAsia

ia yang menjemput cita
pulang berkerudung airmata

ia yang teguh genggam yakin
pulang membawa buah pengabdian

Madura, 2015

MENCARI LEZAT IMAN

antara impian dan kematian
bermukim keberkahan

antara doa dan perjuangan
menetap lezat iman

Madura, 2015

PANGKALANBUN

cinta menemukan rupa
doa

Madura, 2015

PUISI-PUISI MOH. GHUFRON TERBIT DI KORAN MADURA (18 /09/2015)

Teratai Abadi

rindu yang menguntum
ranum
bilakah terpetik
angin mengisahkan percakapan
sunyi pecah perlahan

dedaun mulai menguning
hari-hari menegaskan diri
hidup adalah keakraban
menyusun pengertian

menandai kenangan dalam degup
ada yang pindah perlahan, gugup
takut menyergap
kegetiran semakin karib

kenangan meraung dan terus meraung
jalan yang lengang
menegaskan pandang
yang pernah datang dan hilang

ketika jarak merentang
di manakah menegak keakraban
hanya dalam doa dan kesetiaan

Madura, 2013-2015

Selepas Idris Sardi

biola itu masih memperkenalkan diri
menyapa segenap hati

nyaring nurani
mengurai nyeri
mengisahkan keprihatinan tak bertepi

pemuda dari negeri kertas
tegak menerjemah cahaya
membuat jejak cita
tapak doa
dalam biola
Madura, 24 Februari 2015
Malam Manis

menjilbab hati
cinta suci abadi
warisan nabi

Madura, 22 Februari 2015

Menujumu

aku menujumu
bermukimkah rindu
adakah kamar untukku
dalam hatimu
aku menujumu
gerimis berganti hujan
bertukarkah hatimu
layaknya bunglon
yang bertahan

2015

TERBIT DI UTUSAN BORNEO MALAYSIA (27/09/2015)


MEMANDANG TENANG TELAGA

memandang tenang telaga
cinta berbaris rapi
merias hati

alam begitu teduh
menetap dalam tubuh

pedih, perih juga riuh
tak lagi singgah

memandang tenang telaga
serupa membaca riwayat cinta
 pengembara yang telah temukan rusuknya

 Junglorong, 28 Agustus 2015


MELEPAS

melepasmu di bandara
membiarkanmu kecup angkasa
getir, khawatir
adalah debar
tak bisa kuhindar

aku; burung
patah sayap

aku coba mengubur gugup
sekedar menafasi ketegaran
tak ingin ditumbuhi khawatir
sebab membakar semangat
memalingkan segala kemungkinan
menyematkan yakin
jalan yang mesti kutempuh
biar kau-aku tak rapuh

Bandara-Junglorong, 2014-2015

LUKISAN HATI SEORANG KEKASIH

rindu ini menua
bayangmu tempati sukma

waktu: kesepian
aku kesetiaan
berjalan mengintimi detak
mengintimi tapak

ketiadaanmu: kehampaan
cintamu menguatkan
senyummu meneduhkan

tiada kau
suaramu membangkitkan
aku tak sendiri
puisi-puisimu mengakar
buatku sabar

wangi kenangan
tak henti kukenakan
sampai segala
kembali bermula
semoga pertemuan kedua
segera tiba

 Junglorong, 17 Agustus 2015

Memetik Hikmah dari Puisi-puisi Transendental Karya Moh. Ghufron Cholid



Oleh Imron Tohari

“Sastra adalah jalan keempat untuk mencari kebenaran, setelah agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan.” ( Teeuw ).

Seperti yang dikatakan Teeuw di atas, seperti itulah yang saya temukan pada sajak-sajak Moh. Gufron Chalid yang terkumpul pada 17 sajak pilihan, yang di inbokkan ke saya untuk saya pelajari.

Setelah menelusuri setiap detak nafas sajak-sajak tadi, di sana saya dapat merasakan bagaimana penyair dalam menjalani proses pencarian jalan kebenaran melalui medium sastera.

Sebagai salah satu alat atau media untuk meletupkan rasa dan pemikiran-pemikiran yang diharapkan dapat mempengaruhi pola piker dan atau pola piker baru yang berdampak positip pada pribadi penyair serta penghayat selanjutnya, puisi,sajak, merupakan perwujudan yang tepat dari sekumpulan kata atau kalimat yang merupakan bagian dari yang namanya bahasa (baca: bahasa hati,bahasa piker,bahasa rasa, dll).

Bahwa Puisi sebagai reinkarnasi bahasa/samsara bahasa, pada kelahirannya kembali, tidak terlepas dari proses/ritus suasana baik buruk yang mempengaruhi rasa imajinatip pengkarya ciptanya. Dalam pengertian, melalui puisi penyair berusaha menghidupkan imaji tersembunyi ke dalam tubuh “bahasa”. Tubuh bahasa dari bayangan diri, baik bayangan diri penyairnya maupun bayangan diri penikmat bacanya yang sudah menyatu pada bayangan puisi itu sendiri!, maka jadilah bayangan diantara bayangan; diri membayang pada puisi, puisi membayang pada diri. Dan puisi yang baik, adalah puisi yang ditulis dengan penuh ketulusan, serta tetap mengacu pada estetika moral, sehingga nantinya bisa memberi pencerahan positip dan atau bisa menciptakan pola piker baru yang baik bagi pencipta maupun apresiator yang membacanya.

Bahkan Jhon F Kennedy mantan presiden Amerika yang fonumenal mengkaitkan puisi dengan kehidupan bernegara: “ bila politik bengkok, maka Puisi yang akan meluruskannya”. Dari statemen tersebut, betapa penting dan berpengaruhnya puisi yang baik, tidak hanya dikaitkan dari sudut agama atau keyakinan saja, tapi juga terkait kuat (bila mau menyelaminya) bagi tatanan Bangsa,Negara, dan perbaikan pola piker positip bagi masyarakat dan atau indifidu penghayat.

Latar belakang budaya, pendidikan, pola hidup, kejiwaan, keyakinan, dll, sangat berpengaruh sekali akan hasil perwujudan puisi, baik dalam kapasitas tekstual puisi maupun muatan makna yang tersurat dan atau tersirat pada karya sastra puisi,sajak bersangkutan.

Dan factor-faktor seperti itu juga yang mempengaruhi karya-karya Moh. Ghufron Cholid yang terkumpul pada 17 puisi pilihan “MENUJU PELABUHAN.” Dimana nuansa transendental (kemenonjolan hal-hal yang bersifat spiritual/kerohanian) sangat menonjol pada setiap karyanya. Tidak perlu heran, karena lingkungan agamis yang kuat dari keluarganya serta atmosfir kehidupan pesantren, secara tidak langsung telah membentuk pola pikernya dalam berkarya cipta.

Seperti yang tertuang pada enam buah puisi Moh.Ghufron Cholid “ Menuju Pelabuhan, Sholat, Pertemuan, Selepas Subuh, Perempuan malam,dan Pengakuan “ yang saya anggap paling kuat dari segi alur, bunyi, pemaknaan, sehingga sangat-sangat menyita perhatian saya selaku penghayat, bila dibandingkan dengan puisi lainnya yang tergabung dalam 17 puisi pilihan “MENUJU PELABUHAN”, yang menurut saya terkesan hanya mengalir biasa saja.

Tajuk puisi ““Menuju Pelabuhan” yang sekaligus dijadikan sebagai puisi pembuka pada 17 kumpulan puisi pilihan Moh.Ghufron Cholid, begitu kental dengan nuansa transendental, betapa aku lirik beserta segala ketidak berdayaannya dalam menghadapi tipu daya pesona dunia nan fana, dengan tiga hal sifat yang senantiasa melekat pada insan Tuhan ( suka berkeluh kesah, tak pernah merasa puas, dan penyakit iri ), di sini aku lirik berusaha melawannya dengan cara mendekatkan diri pada sang pencipta, serta menyadari dengan sepenuh rendah hati, betapa tiada yang patut dia sombongkan di hadapan Illaihi Rabbi, serta berharap mendapat Ijabah dengan cara sujud yang sebenar-benar sujud atas segala kebesaran-Nya.

Dan nuansa seperti itu akan pembaca dapatkan pada Sajak “Menuju Pelabuhan” yang menjadi tajuk dan pembuka pada 17 kumpulan sajak terpilih Moh. Ghufron Cholid, saya petikan bait awal sajak tersebut, di bawah ini :

“Menuju pelabuhan kasihMu
Aku terkepung
Antara riak rindu dan ombak nafsu
Terkadang badai dan topan menerjangku
Aku serupa kapas
Berdansa di samudera lepas
Hilang arah tanpa batas”

Begitu kuatnya unsur transendental yang tersirat pada bait awal sajak tersebut. Dan saya yakin ini semua juga tidak terlepas dari pengaruh budaya hidup Moh.Ghufron Cholid yang sedikit tidak banyak dipengaruhi oleh atmosfir pesantren.

Puisi “Menuju Pelabuhan” ini, langsung mengingatkan saya dari sisi kekerabatan makna pada karya “CERITA BUAT IMANA TAHIRA” buah tangan penyair surealis spiritual Acep Zamzam Noor, yang sajak-sajak liris spiritualnya kebanyakan sering mengajak alam bawah sadar pemghayat untuk masuk ke dunia sufistik dalam mengungkap makna-makna yang bersifat transendental, melalui symbol-symbol alam, benda, cuaca, dll sebagai wujud pencitraan.

Seperti halnya “Menuju Pelabuhan”, Penyair Sepiritual Acep Zamzam Noor yang merupakan asset khasanah sastera tanah air ini, dalam “CERITA BUAT IMANA TAHIRA”, tersirat adanya suatu kekerabatan makna, yakni sama-sama tunduk dan tawaduk atas kebesaran Illaihi, betapa kita insan hanya serupa debu dihadapan Tuhan. Kurang lebih itu inti makna yang sama-sama ingin disampaikan. Mari kita baca dua bait yang saya kutip dari sajak Acep Zamzam Noor “CERITA BUAT IMANA TAHIRA”, di bawah ini :

“Memandang langit
Aku ingat wajah kekuasaan
Merah padam
Sedang menginjak bumi
Seperti kudengar suaraku yang sunyi

Di jalan setapak
Yang disediakan bumi tulus ini
Kata-kataku tumbuh dari udara
Kata-kataku membangun menara tinggi
Namun akhirnya runtuh juga” ( di petik dari sajak Acep Zamzam Noor )

Kekerabatan makna “Menuju Pelabuhan” ini juga bisa kita jumpai pada sajak “Doa” buah karya dari penyair D. Zawawi Imron, di mana pada karya “Doa”, penyair melalui aku lirik, betapa takjub akan kebesaran dan kekuasan Tuhan, dan betapa insan setiap mengingat kebesaranNya, terlihat kerdil tiada daya dibandingkan dengan segala kebesaran-Nya.

“bila kau tampakkan secercah cahaya di senyap malam
rusuh dan gemuruh mengharu biru seluruh tubuh
membangkitkan gelombang lautan rindu
menggebu menyala
dan lagu-Mu yang gemuruh
menyangkarku dalam garden-Mu” ( Dipetik dari sajak “Doa” D. Zawawi Imron ).

Suasana transendental juga akan kita jumpai pada karya “SHALAT” yang ada pada 17 sajak pilihan Moh. Gufron Chalid. Sajak pendek yang hanya satu bait dan terpeta terdiri 3 baris, saya rasa cukup berhasil membawa penghayat untuk masuk ke dalam dunia renung akan pentingnya menjalankan syariat Tuhan dengan sebaik-baiknya iman.
Secara makna, sajak ini mengingatkan saya pada tembang “Tamba Ati” karya Sunan Bonang yang sering saya nyanyikan saat saya masih kecil dan mengaji di mushola di desa saya Malang.

Sekali lagi saya katakana, secara makna, sajak Sholat ini sangat dalam, hanya secara puitika bahasa, karya ini terasa mengalir begitu saja, dalam arti, cengkeraman kuat yang bisa menghisap imaji penghayat kurang terbentuk, hal ini bisa jadi di karenakan puitisasi bahasanya yang terkesan standart ( umum).

Saya tidak membandingkan karya “Sholat” dengan” Tamba Ati” karya Sunan Bonang, namun saya hanya ingin menggambarkan betapa dengan pilihan diksi yang kuat dan susunan yang tepat, walau pendek, tembang “Tamba Ati” tetap mengemakan bunyi yang begitu mengesankan.

Saya petikan sajak “ Shalat “ dan “ Tamba Ati “, yang secara kekerabatan inti makna tidak jauh berbeda; yakni mengajak insan untuk menjalankan Syariat Tuhan dengan setulus-tulusnya ikhlas.

“Tuhan
Kau dan aku
Tak ada tabir rahasia”

Betapa di sini penyair dalam sajak “Sholat” ingin menyampaikan, bilamana kita menjalankan segala perintah-Nya ( Shalat ), ibarat pengantin dan atau bila dalam suatu rumah tangga, suami istri, tiada lagi penyekat untuk senantiasa berdekatan ( dalam koridor tanda kutip ). Sebuah pesan tersirat yang mengingatkan setiap insane ( penghayat ) untuk senantiasa tawaduk dan iklas dalam mendapatkan ijabah dari Tuhan, seperti yang ada pada larik lengkap tembang “ tamba Ati” karya Sunan Bonang dalam syiar islaminya.

“Tombo ati iku lima perkarane
Kaping pisan moco Qur’an lan maknane
Kaping pindo sholat wengi lakonono
Kaping telu wong kang soleh kumpulono
Kaping papat kudu weteng ingkang luwe
Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe
Salah sawijine sopo biso ngelakoni
Mugi-mugi Gusti Allah ngijabahi

Kurang lebih maknanya seperti ini :

Obat hati itu ada lima macamnya.
Pertama membaca Al-Qur’an dengan mengamalkan artinya,
Kedua mengerjakan shalat malam ( sunnah Tahajjud ),
Ketiga menjalin silahturahmi dengan orang saleh ( berilmu ),
Keempat menjalankan ibadah berpuasa, agar bisa memetik hikmah dari penderitaan kaum miskin.
Kelima sering-sering berdzikir mengingat Allah di waktu malam,
Siapa saja yang mampu mengerjakannya,
Insya’ Allah Tuhan dari segala Tuhannya umat akan mengabulkan. “

Jadi secara implisit seperti itulah pesan yang terkandung pada puisi pendek yang hanya 3 baris di luar judul, mempunyai kandungan makna seperti pemaknaan yang ada pada tembang “tamba Ati”, khususnya dalam pencapaian tingkat ijabah Tuhan “Siapa saja yang mampu mengerjakannya,
Insya’ Allah Tuhan dari segala Tuhannya umat akan mengabulkan”.

Terlepas dari kurang kuatnya daya hisap imaji karya, sajak “Sholat” ini patut untuk dibaca sebagai bahan renung agar kita senantiasa ingat dan bisa lebih dekat dengan Tuhan. Amin.

Dan pembaca akan semakin diajak bertilawah hati dalam menangkap pesan-pesan transendental yang ada pada 17 sajak pilihan karya Moh.Ghufron Cholid, yang dengan bahasa lugas dan membumi. Walau dalam kesederhanaan puitisasi bahasa, dan minimnya penggunaan majas metaphora, tapi ketotalan penyair dalam menjiwai setiap gores baris sajaknya, menjadikan sajak-sajak tersebut serasa punya roh untuk bercerita, serta memudahkan setiap pembaca dalam menerjemahkan pesan tekstual sajak dengan mudah. Seperti pada sajak “ SELEPAS SUBUH” yang merupakan bentuk penghormatan dan kekaguman penyair pada gurunya yang telah berpulang ke Rahmattullah, saya kutip penuh , seperti di bawah ini:

SELEPAS SUBUH
Teruntuk guru tercinta Alm. KH. Moh. Tidjani Djauhari

Guru
Selepas subuh
Rumput-rumput bertahlilan
Beburung membaca yasin
Di sekitar nisanmu
Lalu
Kusaksikan pohon-pohon doa semakin lebat daunnya
Lantas
Meneduhi nisanmu
Kemudian
Aku mengerti
Suatu hari nanti
Wajahku berganti nisan
Namun
Aku belum tahu
Apakah nisanku akan seteduh nisanmu
Namun
Aku belum tahu
Jika wajahku telah berganti nisan
Apakah rumput-rumput akan bertahlilan
Dan beburung akan membaca yasin
Semisal yang kusaksikan selepas subuh ini (Al-Amien, 2009)

( andai saja mau sedikit menyentuh tipograpi puitikanya/pemetaan baitnya, saya yakin sajak ini akan kian bernas dan semakin enak dibaca)

Akhir kata, terlepas dari segala plus minus karya sajak ini,tidaklah berlebihan bila saya katakan 17 karya pilihan Moh.Gufron Cholid ini layak untuk dibaca, sebagai salah satu jalan mencari kebenaran melalui pemikiran-pemikirannya yang dia tuangkan dalam sajak bernuansa spiritual.

Memang pembaca tidak akan menemukan permainan-permainan symbol bahasa/majas sekuat dan sekental karya-karya Acep Zamzam Noor dan D. Zawawi Imron pada kumpulan sajak-sajak “ Menuju Pelabuhan “ ini, namun begitu, dalam kelugasan puitisasi bahasa sajaknya, pembaca akan diajak bertilawah pada keteduhan iman yang dalam.

Biodata Penyair :

Moh. Ghufron Cholid, lahir di Bangkalan 07 Januari 1986 M dari pasangan KH. Cholid Mawardi dan Nyai Hj. Munawwaroh. Ia adalah salah seorang Pembina Sanggar Sastra Al-Amien (SSA), selain itu adalah seorang tenaga edukatif di MTs TMI Al-Amien Prenduan Sumenep Madura 69465 dan ditengah kesibukannya menjadi ketua Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) Pondok Pesantren Al-Amien, ia menjadikan menulis puisi sebagai kegiatan yang menyenangkan untuk mengisi waktu luang.

Karya-karyanya bisa dibaca di Antologi.Net, Puitika.Net, penulisindonesia.com, www.kopisastra.co.cc dan diberbagai situs online lainnya.

Mengasah Alief (2007),Antologi puisinya yang mendapat kata sambutan positip dari D. Zawawi Imron, KH. Moh. Idris Jauhari, dan Penyair Jerman. Selain itu Antologi Puisi Yaasin (2007), Antologi Puisi Toples (2009), merupakan karya-karyanya yang telah berhasil dia bukukan.

Salam lifespirit! 20 Maret 2010
Sumber: http://sastra-tanah-air.blogspot.com/2010/09/memetik-hikmah-dari-puisi-puisi.html?m=1

ZIARAH DAN RAHASIA YANG TERSEMBUNYI



Oleh Dimas Indianto S
Tulisan ini hanya sebentuk catatan kecil atas kekaguman saya kepada penyair santri dari Madura bernama Moh. Ghufron Cholid (MGC), membaca puisi-puisi alitnya saya memasuki dunia asing di mana kata-kata menjadi sedemikian mahal, hingga di setiap puisinya kita menemukan kata-kata yang terkesan begitu selektif.

Bagaimanapun Puisi ditulis oleh seorang penyair minimal karena dua alasan. Pertama, adalah dorongan hati penyair untuk mengejawantahkan kemampuan mencipta, merealisasikan bakat dengan mewujudkan sebuah karya puitis, mencapai kepuasan karena memberikan isi dan makna kepada suatu tindakan, semacam peninggalan dari perasaan dan pengalamannya atau rapor bakat dan kemampuannya. Kedua, puisi dimanfaatkan sebagai medium untuk menyampaikan sesuatu yang lain. Dalam pada ini, MGC menjadikan kebolehannya memilah-memilih-membuang kata untuk mencipta puisi alit sebagai media menyampaikan sesuatu yang besar.

Metafora ziarah
Di sini saya akan mengaji dua puisi ziarah MGC. Sebagaimana kita tahu ziarah adalah perenungan panjang sebagai kunjungan untuk daya spiritualitas manusia dalam membersihkan pikiran, perasaan, dan jiwanya. Dalam pada ini, makam memiliki banyak simbol yang dapat dipahami dalam berbagai terminologi. Makam-makam para wali selalu menjadi kunjungan banyak orang untuk berdoa karena diyakini sebagai tempat suci. Bagi MGC berziarah adalah sebagai pengingat eksistensi manusia di dunia ini yang akan melewati alam kubur.

DI MAKAM SYEICHONA CHOLIL

Di makam Syeichona Cholil
Reruh tak lagi binal
Dalam merapal masa depan
Yang penuh keridlaan

Di makam Syeichona Cholil
Runtuh langit keangkuhan
Saksikan makam yang anggun
Lukiskan kefanaan

Kamar Hati, 13 Mei 2012

MGC mengingatkan bahwa ketika sudah berhadapan dengan Tuhan—dengan jalan mengingat kematian melalui ziarah—seketika itu juga / Reruh tak lagi binal/, hati menjadi tertata sehingga dalam merapal masa depan, manusia seyogyanya melewati jalan yang penuh keridlaan Tuhan. Ketika maqom (baca; tingkatan) itu sudah didapatkan, maka Runtuh Langit Keangkuhan, sebab segala yang ada di dunia ini pada akhirnya akan kembali kepada Tuhan, maka apalah artinya sebuah keangkuhan? Toh semuanya akan ditinggalkan saat menghadapTuhan?
Dalam perspektif budaya, makam adalah sebuah tempat suci yang mengandung aura yang berbeda dengan kekuatan tempat lainnya yang dianggap tidak sakral. Sebagai tempat suci, makam memiliki aura yang berbeda sehingga penghormatan yang diberikan tentunya juga berbeda (Syam, 128: 2011). Maka, di hampir semua makam, tidak diperkenankan untuk berkata kotor, membuang sampah sembarang, dan di makam-makam tertentu—seperti halnya makam-makam para wali—bahkan diselubungi lambu putih juga wewangian dan bunga-bunga. Dari situ dengan ziarah, kita saksikan makam yang anggun¸sebagai media muhasabah (introspeksi diri) untuk mengerti lukisan kefanaan yang sebenar-benarnya.

Ziarah juga sebagai cara untuk menapak tilas tentang spiritualitas seseorang, bahkan tentang kepahlawanan (baca; ketokohan) seseorang, yang dapat diambil pelajaran untuk bisa mengilhami dalam menghadapi kehidupan. Bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lain. Hal itu dapat ditemukan dalam ziarah para wali, selain dijadikan momen berdoa, ziarah juga untuk mempelajari kehidupan terdahulu para wali, sehingga bisa dijadikan motivasi dalam menjalani kehidupan di dunia.
TENTANG KWANYAR

Memuncak cerita jejak surga
Sunan Cendana, rahasia

Kamar Cinta, 2006-2013
MGC—dengan keeksotisan puisi alitnya—mengajak kita untuk merenungi apa yang ia sembunyikan dalam puisinya. Dalam “Tentang Kwanyar”, MGC mangabarkan betapa abadi sebuah nama yang telah memberikan kontribusi konkrit kepada masyarakat, yaitu dengan jalan penyebaran agama Islam, yaitu Sunan Cendana.
Dalam puisi ini MGC mengajak kita “napak tilas” kehidupan Sunan Cendana, sebab apa nama Sunan Cendana menjadi nama yang selalu dikenang, dan makamnya selalu menjadi salah satu tujuan wisata religi, tentu ada sejarah yang melatarbelakanginya dan tujuan yang melatardepaninya. Satu hal yang khas adalah MGC memotret realitas yang tidak biasa, jika judul “Tentang Kwanyar” diterawang, barangkali kita hanya akan menemukan informasi tentang apa itu Kwanyar secara definitive, namun MGC menyuguhkan sesuatu yang lain, bahwa ada “rahasia yang tersembunyi” di sebuah tempat bernama Kwanyar. MGC mengatakan bahwa di Kwanyar memuncak cerita jejak surga. yaitu jejak suci yang telah ditinggalkan Sunan Cendana.
Di baris terakhir MGC menuliskan /Sunan Cendana, rahasia/. Kata “rahasia” mengingatkan saya pada kitab “Nashoihul ‘ibad” karangan Muhammad Nawawi Bin ‘umar al Jawi yang dalam salah satu babnya mengatakan bahwa salah satu yang dirahasisakan Tuhan adalah perihal “waliyullah”. Menurut kitab itu, bahwa “waliyullah” diistimewakan Tuhan, sehingga keberadaannya dirahasiakan. Untuk kemudian orang-orang saling mencari “rahasia itu” dan seketika telah ditemukan, “Rahasia” itu menjadi sesuatu yang bernilai tinggi, dikagumi dan dilestarikan.

Apa yang telah saya urai dari puisi alit MGC meyakinkan saya bahwa puisi sebagai media ekspresi spiritual, memberikan substansi bagi keindahan di dalam kata-kata, tetapi tidak mengurangi sisi moralitasnya. Puisi menjadi menarik karena adanya keterbatasan bahasa untuk menerangkan sisi keindahan, yakni keindahan pengalaman mistis yang telah dialami penyair. Sesungguhnya, pada sisi lain dunia, masih banyak kejadian-kejadian yang tidak dapat diterima oleh panca indera manusia tentang keindahan, pengetahuan, pemahaman dan wawasan.
Pengalaman religiusitas penyair telah mengendap di alam bawah sadarnya akan membentuk karakter bagi karya-karyanya. Ada keterkaitan antara religiusitas penyair dengan karyanya. Religiusitas penyair menghidupi teks, walaupun saat tertuliskan dan berada dalam pembacaan oranglain religiusitas teks tidak menjadi hilang, teks akan dihidupkan kembali oleh pembacanya menggunakan perspektif pembaca yang sangat mungkin tidak berbeda jauh dengan makna yang dikehendaki penyair, karena dalam ekspresinya penyair juga dibatasi ruang pemahaman publik dalam kebudayaan tertentu. Wallohu a’lam.

Dimas Indianto S. Penyair dan Esais, Lurah Pesantren Mahasiswa An Najah Purwokerto. Pengelola Komunitas Pondok Pena Purwokerto

MELIHAT SUNSET PADA SEBUAH SENJA




Oleh Aiyu NaRa

Berjalan-jalan di dokumen grup puisi 2,7, saya tertarik dengan dua puisi milik dua penyair. Puisi ini unik di mata sad ya, ditulis oleh dua penyair yang mempunyai nama depan yang sama, Moh Ghufron Cholid dan Muhammad J, serta memakai diksi "senja" pada masing-masing puisinya. Meskipun diksi "senja" secara umum sudah lazim dipakai oleh para penyairi, namun saya melihat puisi kedua penyair ini mempunyai benang merah yang kuat, meski dengan latar yang berbeda.
Perhatikan dua puisi berikut ini:

MENERJEMAHKAN RANTAU                 
: pipiet senja                                     

Tanah rantau telah pukau                   
Kau seharum tembakau                   

Moh. Ghufron Cholid, 2013                   

SUNSET

ditatap seorang senja
senyum dan tangis disatukannya

Muhammad J, 1.8.2013

Biografi singkat Pipiet Senja
Pipiet Senja, nama yang tidak asing lagi bagi kalangan penulis. Sastrawati dari sunda yang lebih akrab dipanggil "manini" ini disebut sebagai ratu fiksi Indonesia. Puluhan buku novel, kumcer, dan puisi, lahir dari tangannya. Ia juga dikenal sebagai Teroris (tukang teror menulis) dan juga motivator di kalangan BMI (Buruh Migran Indonesia). Namun siapa sangka, ditengah aktifnya ia sebagai seorang penulis, ia harus bergelut dengan penyakit seumur hidupnya, Thalasemia, penyakit kelainan darah bawaan yang dideritanya sejak umur 11 tahun. Penyakit ini tak bisa disembuhkan, dan seumur hidupnya Pipiet Senja harus melakukan transfusi darah.
Namun penyakit ini, justru mendorong Pipiet Senja semakin giat menulis sampai sekarang.

Fisiknya yang lemah tak menghentikan niatnya untuk terus memberikan teror menulis ke penjuru dunia. Ia sering diundang ke berbagai daerah dan negara untuk memberikan seminar dan motivasi menulis. Buruh Migran Indonesia adalah salah satu sasaran teror menulisnya. Bersama BMI Hongkong, di tahun 2011, Pipiet Senja menerbitkan sebuah buku yang berjudul "SURAT BERDARAH UNTUK PRESIDEN. '


Kembali kep puisi Moh. Ghufron Cholid
MENERJEMAHKAN RANTAU
: pipiet senja

Tanah rantau telah pukau
Kau seharum tembakau

Madura, 2013

Puisi ini, saya masih ingat, ditulis bertepatan dengan kunjungan Pipiet Senja ke Madura. Bisa jadi hal inilah yang mendorong MGC untuk menuliskannya.
MGC, mengambil judul "MENERJEMAHKAN RANTAU" dengan anak judul "pipiet senja"
"menerjemahkan"...> menyalin, mengalihbahasakan.
"rantau"...> daerah di luar daerah atau kampung halaman sendiri. Bisa luar kota, luar pulau, atau luar negri.

Lalu apa yang dapat dibaca dan dipahami dari judul dan sub judul tersebut? Dari biografi singkat tersebut telah sedikit dijelaskan bagaimana semangat Pipiet Senja dalam menebar virus menulisnya, baik di dalam negri maupun di luar negri. dalam sebuah kutipannya, Pipiet Senja menyebutkan "Menulislah, maka kau akan dikenang"
Tentu saja hal ini benar adanya. Apa yang akan ditinggalkan penulis ketika ia wafat? Adalah buah karya, pemikiran-pemikiran penulislah yang akan dikenang dan diwariskan. Seperti Chairil, yang selalu hidup lewat puisi-puisinya.

Dalam setiap kesempatan menebar virus menulis, Pipiet Senja selalu mengatakan "tulislah apa yang ingin kau tulis. Tulis... tulis... dan tulis. Dan MGC, dengan cermat merangkaikannya dalam sebuah judul yang tepat. Ini tentu saja erat hubungannya dengan  bagaimana seorang Pipiet senja, mengajak dan mendorong orang-orang di manapun, untuk menulis perasaan, emosi, imajinasi, menyalin dan mengalih bahasakan apa yang dilihat dan dirasakan ke dalam sebuah tulisan.

Masuk ke dalam tubuh puisi:
"Tanah rantau telah pukau
Kau  seharum tembakau"

Bagaimana tidak, seorang Pipiet Senja, di dalam keterbatasan kesehatannya, dia tetap aktif berkarya, menulis dan berbagi, di mana pun dan kapan pun. Tak hanya di daerah-daerah dalam negri, tapi juga sampai ke luar negri. Tak hanya kepada pelajar, mahasiswa, atau pun santri. Tapi juga kepada pekerja, ibu rumah tangga sampai BMI. Penyakit Thalasemia yang dideritanya bukan menjadi penghalangnya untuk terus berkarya. Namun dijadikannya kekuatan untuk tetap berkarya.

Sesungguhnya Allah SWT berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu..." (QS. Ali Imron: 200)

"Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguha berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orsng-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-NYA." (QS. al Baqoroh,2:45-46)

Ketidak menyerahan seorang Pipiet Senja, menjadikan penyakitnya sebagai teman kolaborasi dalam menulis, sungguh telah menarik mata dunia kepadanya.

Masih dalam "senja", kali ini saya ingin menyelami puisi dari Muhammad J.
Sama-sama menggunakan diksi "senja", MJ mengemas puisinya dalam pola tuang 2,7 dengan judul yang cantik.

SUNSET

di tatap seorang senja
senyum dan tangis disatukannya

MJ 1.8.13

Berbeda dengan MGC, dalam puisi MJ tidak terdapat sub judul. Memasuki judul puisi "SUNSET" pembaca akan ditarik ke dalam ruang imajinasi, matahari tenggelam dengan rona-rona jingga di selelilingnya, dan cahaya keemasan di garis horizon.
Peristiwa terbenamnya matahari adalah masa transisi antara terang dan gelap. Terang yang merupakan  tanda-tanda kehidupan, di mana makhluk hidup beraktifitas dan bergerak di siang hari. Manusia bekerja, tumbuhan berfoto sintesis, hewan-hewan beraktifitas mencari makan, semuanya dilakukan pada siang hari.
Gelap, yang merupakan tanda-tanda beristirahatnya denyut kehidupan. Makhluk hidup: manusia, tumbuhan, hewan pada umumnya akan mengistirahatkan tubuhnya pada malam hari.
Dalam filosofi, SUNSET sering dianalogikan sebagai masa transisi kehidupan dan kematian.

Memasuki tubuh puisi:
"ditatap seorang senja
senyum dan tangis disatukannya"

Antara judul dan larik pertama, terdapat korelasi yang kuat. SUNSET,peristiwa matahari tenggelam ini terjadi pada waktu senja. Di mana hal ini di tandai dengan munculnya cahaya jingga keemasan pada garis horizon. Dalam puisi di atas , MJ menyebut "senja" sebagai "seorang". Lalu siapakah "senja" di mata MJ?
Mari kita lihat lebih dekat.

Sunset terjadi pada waktu senja. Namun pada waktu senja belum tentu terlihat sunset. Hal ini bisa saja terjadi karena cuaca yang tidak bagus, seperti mendung, hujan, kabut dan sebagainya. Artinya hanya ketika waktu cerah, sunset dapat terlihat. Warna jingga emas pada horizon, bisa dianalogikan sebagai tingkat kematangan seseorang. Bisa kedewasaan, kemapanan dalam hal kerohanian atau keimanan.

"daitatap seorang senja/ senyum dan tangis disatukannya"
Senja yang dapat menghadirkan sunset, matahari tenggelam dengan cahaya jingga keemasan  pada garis horizon adalah senja yang cerah tanpa kabut tanpa hujan. Dari sini seolah penyair igin menyampaikan pesan, bahwa tingkat kematangan kerohanian/ keimanan seseoranglah yang mampu menghadirkan cahaya/ aura yang berpendar. Seseorang yang mempunyai keimanan yang kuat dan matang, akan mampu menghadapi segala bentuk ujian. Baik itu dalam bentu kesenangan maupun kesedihan. Seseorang yang beriman, dia akan mampu tetap tersenyum di dalam kesedihannya.


hadapi dengan senyuman
semua yang terjadi biar terjadi
hadapi dengan tenang jiwa
semua 'kan baik-baik saja

bila ketetapan Tuhan
sudah ditetapkan, tetaplah sudah
tak ada yang bisa merubah
dan takkan bisa berubah
... *)

Hal inilah yang dilakukan Pipiet Senja. Ia, telah mengajarkan bagaimana tetap tersenyum dan tetap semangat di dalam menghadapi segala ujian. Pipiet senja dengan Thalasemia, dalamsakitnya, ia tetap mendedikasikan waktunya untuk berbagi dalam sastra.

Aiyu Nara, Madiun 21.8.14

Referensi Biografi Pipiet Senja: dari berbagai sumber
Lirik lagu Dewa 19, "Dengan Senyuman"
Firman Allah tentang sabar

Sumber:  http://mohghufroncholid.blogspot.com/2014/10/melihat-sunset-pada-sebuah-senja.html?m=1

MENYANDINGKAN PUISI MOH. GHUFRON "MENGGAMBAR RUPA CINTA BANGSA" DAN PUISI SUTARDJI "TANAH AIRMATA" DALAM PERSPEKTIF MENCINTAI INDONESIA


Oleh Janus A Setya

"Indonesia lahir dari puisi. Teks Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada 1928 adalah puisi yang berisi tentang imajinasi Indonesia yang satu."
(Sutardji Calzoum Bachri)
-----
SOEMPAH PEMOEDA
Pertama :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
Kedua :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA
Ketiga :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA
Djakarta, 28 Oktober 1928
Teks Soempah Pemoeda dibacakan pada waktu Kongres Pemoeda yang diadakan di
Waltervreden (sekarang Jakarta) pada tanggal 27 - 28 Oktober 1928 1928.
-----
Saya kutip 2 (dua) transkrip di atas dalam rangka membangun sebuah korespondensi antara puisi di satu sisi dan cinta tanah air di sisi yang lain. Betapa puisi telah menjadi benih dari kelahiran Indonesia sebagai sebuah tanah air dan bangsa. Indonesia meng-ada dari sebuah puisi. Maka tidaklah berlebihan apabila puisi pada gilirannya selalu menjadi pengawal dan kekasih sejati Indonesia. Hingga kapanpun akan tercipta puisi untuk Indonesia. Ungkapan rasa cinta dari penyair tentang mencintai Indonesia. Cinta yang berawal dari rasa memiliki Indonesia seutuhnya. Cinta bangsa cinta tanah air: Indonesia. Cinta yang menurut Erich Fromm sebagai cinta yang memberi, memberikan diri, hidup, sukacita dan dukacita.
-----
MENGGAMBAR RUPA CINTA BANGSA

Ketika cinta jadi sukma
Segala duka tiada berbunga
Ketika bangsa adalah nyawa
Menyematkan muruah tiada kecewa

Retak bangsa retak tubuh
Tiada utuh segala mahabbah
Kibarkan merah putih di hati
Nyeri menepi tiada henti

Cinta bangsa tanda iman
Gugur perang tanda pahlawan
Menyemai merdeka sepenuh pengabdian
Tiadalah gusar menempati badan

Indonesia bangsa besar jaya
Jangan dilepas ragam daerah
Biarkan tapa segala cinta
Saatnya bersatu kalahkan penjajah

Madura, 12 Oktober 2014
Moh. Ghufron Cholid
Puisi 444

TANAH AIRMATA
tanah airmata tanah tumpah darahku
mataair airmata kami
airmata tanah air kami

di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka kami
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak ke manamana

bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke mana pun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di airmata kami

ke mana pun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman airmata kami

1997
Sutardji Calzoum Bachri

Membaca puisi Moh. Ghufron berjudul MENGGAMBAR RUPA CINTA BANGSA, saya membayangkan Moh Gufron sebagai seorang pelukis yang telah membuat sebuah lukisan naturalis bertemakan kecintaan terhadap Indonesia yang dituangkannya dalam sebuah puisi pola 444.
Saya mencoba menyandingkan lukisan naturalis Moh. Ghufron tersebut dengan puisi Sutardji Calzoum Bachri berjudul TANAH AIRMATA yang dalam imajinasi saya adalah sebuah lukisan ekspresionis. Rasa baca saya bergeser menjadi rasa penghayatan sebagaimana jika menikmati sebuah lukisan.

Ternyata kesimpulan awal saya mengatakan bahwa kedua lukisan tersebut memiliki kesamaan tema dan cita rasa. Keduanya mampu memberi resapan rasa cinta terhadap tanah air Indonesia. Yang satu dalam gaya naturalis dan satunya lagi dalam gaya ekspresionis. Keduanya sama-sama memberi imaji yang kuat tentang cinta Indonesia.
Moh. Ghufron membesut tajuk puisinya dengan judul yang bertumpu pada diksi /bangsa/. Diksi bangsa yang diasosiasikan sebagai Indonesia terus dipergunakan penyair dalam isi puisi. Galibnya ciri lukisan naturalis sejak judul hingga isi, puisi ini sangat kental dengan kecermatan detail obyek lukis. Penyair melalui judul puisi sudah mulai mengimajinasikan cinta Indonesia. Jika kita rujuk makna bangsa dalam KBBI, bangsa adalah kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri.

Sementara Sutardji melukis dalam gaya ekspresionis yang begitu kuat dengan sapuan kuas dan permainan warna yang sangat ekspresif. Tardji lebih memilih diksi /tanah air/ sebagai asosiasi Indonesia. Terasa lebih sublim dan tidak sekadar Indonesia secara fisik artifisial. Bahkan judul yang digoreskan dalam kanvas lukisnya sudah ditajuki "Tanah Air Mata". Tanah yang basah bukan hanya karena air tapi karena air mata. Dan air mata adalah simbolisme dari duka yang mendalam. Duka yang disebabkan oleh cinta yang mendalam.
Menurut KBBI, tanah air adalah negeri tempat kelahiran.
-----
Selanjutnya saya akan telisik bait perbait dari masing-masing puisi. Kebetulan keduanya sama-sama memiliki 4 bait puisi walau masing-masingnya berbeda pola tuang dan jumlah larik setiap baitnya.
-----
Bait 1 Puisi Moh. Ghufron:
Ketika cinta jadi sukma
Segala duka tiada berbunga
Ketika bangsa adalah nyawa
Menyematkan muruah tiada kecewa

Bait 1 Puisi Sutardji:
tanah airmata tanah tumpah darahku
mataair airmata kami
airmata tanah air kami

Bait 1 kedua puisi secara tersirat sama-sama menegaskan tentang klaim memiliki Indonesia dengan segala kehormatan dan harga diri. Jika Moh. Ghufron menegaskannya lewat "muruah tiada kecewa" maka Tardji menyatakannya dengan "tanah air mata tanah tumpah darahku".
Pernyataan Moh. Ghufron bahwa Indonesia adalah nyawanya dinyatakan oleh Tardji sebagai "air mata mata air kami"
Kedua puisi seolah sama-sama menegaskan bahwa cinta mereka kepada Indonesia bukanlah cinta yang ala kadarnya, tapi cinta yang bertaruhkan nyawa.
-----
Bait 2 Puisi Moh. Ghufron:
Retak bangsa retak tubuh
Tiada utuh segala mahabbah
Kibarkan merah putih di hati
Nyeri menepi tiada henti

Bait 2 Puisi Sutardji:
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka kami
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak ke manamana

Kedua puisi lagi-lagi membuat pernyataan yang sama, merintihkan sesuatu yang sama.
Kesakitan karena retak tubuh yang dirasakan oleh Moh. Ghufron dan perih yang dirasakan oleh Tardji di balik gembur subur tanah dan etalase megah gedung.

Di bait 2 inilah ungkapan rasa cinta kepada Indonesia berbuntut rasa khawatir kedua penyair disebabkan begitu banyaknya ketidak senonohan yang terjadi. Tersirat misalnya perilaku saling berebut kuasa, juga berlomba-lombanya anak bangsa korupsi dan manupulasi yang merongrong bangsa. Di bait inilah sesungguhnya duka terasa begitu pedih. Duka yang disebabkan oleh rasa cinta kedua penyair pada Indonesia.
-----
Bait 3 Puisi Moh. Ghufron:
Cinta bangsa tanda iman
Gugur perang tanda pahlawan
Menyemai merdeka sepenuh pengabdian
Tiadalah gusar menempati badan

Bait 3 Puisi Sutardji:
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke mana pun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di airmata kami
ke mana pun berlayar
kalian arungi airmata kami

Bait 3 menjadi semacam pernyataan sikap dari kedua penyair terhadap keadaan mutakhir yang terjadi di negeri ini. Kedua penyair sama-sama tak rela jika kekasihnya, Indonesia dikhianati dan disakiti, baik oleh bangsa lain maupun oleh perilaku anak bangsa sendiri.Moh. Ghufron menyatakannya dengan "gugur perang tanda pahlawan" sementara Tardji dengan lebih mengiris-iris menyatakan: "kalian tak bisa menyingkir, ke manapun melangkah kalian pijak air mata kami" Secara dramaturgi bait 3 kedua puisi menjadi klimaks dari perjalanan rasa cinta yang digambarkan oleh kedua penyair.
-----
Bait 4 Puisi Moh. Ghufron:
Indonesia bangsa besar jaya
Jangan dilepas ragam daerah
Biarkan tapa segala cinta
Saatnya bersatu kalahkan penjajah

Bait 4 Puisi Sutardji:
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman airmata kami

Pada bait 4 inilah kedua penyair sama-sama mendiskripsikan sebuah harapan tentang kelanggengan cinta keduanya kepada Indonesia. Cinta yang harus selalu diselamatkan dan terus disempurnakan sebagai cinta abadi.
Moh. Ghufron dengan pernyataannya "saatnya bersatu kalahkan penjajah" dan Sutardji dengan sebuah himbauan kalau tidak mau disebut sebuah ancaman: "menyerahlah pada kedalaman air mata kami".
-----
Sampai kapanpun puisi akan menjadi kekasih sejati Indonesia.

Sumber: http://mohghufroncholid.blogspot.com/2014/10/menyandingkan-puisi-moh-ghufron.html?m=1