Selasa, 15 Januari 2019

Rupa Kematian di Mata Penyair Rini Intama



Oleh :  Moh. Ghufron Cholid

Puisi bisa juga menjadi salah satu cara seseorang penyair untuk mengabadikan seluruh perasaannya agar senantiasa abadi. Perasaan ini bisa berupa perasaan senang maupun benci, bahagia maupun sedih. Hal semacam ini menunjukkan bahwa puisi sangat dekat dengan kehidupan kita. Puisi bisa menghadirkan segala pujian maupun gugatan.


Kali ini Rini Intama hadir dengan puisi yang bertema reliji. Puisi yang melukiskan betapa kematian itu, sangat rahasia dan tak ada seorang pun yang bisa mengetahui hari kematiaannya.


Puisi kematian yang diusung kali ini, adalah puisi kematian yang tak terkesan menggurui. Puisi kematian yang hanya mencoba getar jiwa dalam memaknainya. Marilah kita sejenak meluangkan waktu untuk bersama-sama membaca dan menelaah puisi di bawah ini;



LIMA NOVEMBER



Lupa pada warna senja yang sebentar lagi turun

Suara ibu memanggilku hingga suara serak berdahak

Lamat menghilang dalam pekat awan yang berserak

Secangkir air mata panas tumpah menyiram hatiku



Malam, kutanya di mana ibu?

Ayah berbisik, sudah di surga sore tadi nak.



November 2010

(diambil dari buku Gemulai Tarian Naz karya Rini Intama halaman 62)


Ketika membaca judul puisi di atas awalnya saya hanya menerka-nerka apa keistimewaan November di mata batin seorang Rini Intama sehingga harus diabadikan dalam puisi.


Perlahan saya mencoba mentadabburi aksara demi aksara yang disusun dan dijadikan puisi dengan dua bait yang utuh, dua bait yang mampu menjawab pada hakekatnya segala sesuatu akan menjadi fana tanpa pernah menduganya.



Dalam bait pertama yang hanya terdiri dari empat baris, Rini Intama membuka baitnya dengan sebuah sapaan yang membuat kita tersadar dari lena hidup yang kita jalani. Lupa pada senja yang menjadi matahari merebahkan diri. Lupa pada senja yang menjadi tempat kita kembali.


Bait pertama secara utuh hanya menggambarkan suasana jiwa saat mendebarkan dalam menghadapi kematian, saat-saat yang penuh dengan kegetiran. Saat-saat yang membuat ruh merenung kembali tentang keberadaan yang dijalani. Bait pertama disampaikan secara jujur dan tidak klise dengan membumbuhi sedikit metafora.


Pada hakekatnya kematian selalu memberikan cuaca hati yang beragam, bagi yang mengalami kematian menjadi tanda pintu ketiga dalam sebuah perjalanan yang dilewati hamba telah dilalui. Pada pintu ini, biasanya seorang hamba hanya tinggal menunggu keputusan di padang mahsyar. Keputusan tentang segala amal. Dalam pintu ketiga perjalanan ini, bisa jadi penanda amal baik buruk seseorang dalam kamar baru yang dihuni. Apabila kelakuan baik yang lebih mendominasi paling tidak hamba yang berada dan telah memasuki pintu ini sangat riang gembira. Tidak merasakan gulita di kamar yang baru namun bagi yang banyak memiliki dosa menjadi tempat yang sangat menyeramkan.


Bait kedua dalam puisi ini, lebih memfokuskan pembahasannya pada kebimbangan seorang penyair dalam mencari tentang kabar keberadaan ibunya, Orang yang sangat dicintai dan sangat dirindui. Pertanyaan seperti ini wajar terjadi dan sering kita saksikan dalam hidup ini, utamanya saat kita sangat merindukan sosok ibu yang sering kita lihat, tiba-tiba hilang tanpa sebab.


Kegelisahan penyair dalam mencari sosok ibunya, yang tak kunjung mendapatkan jawaban, dari malam yang mejadi tempat pertanyaan. Malam yang menjadi tempat kesunyiaan untuk menanyakan hakekat keberaan sosok orang yang dicintai, akhirnya penyair mulai merasa lega dengan adanya jawaban tiba-tiba dari sosok bernama ayah. Ayah yang sangat memahami psikologi keadaan anak yang kehilangan ibunya sebisa mungkin akan mencari bahasa yang lebih menghibur buah hatinya, Ayah berbisik, sudah di surga nak sore tadi. Betapa indah penyair menutup baitnya.


Dari segala uraian yang telah saya paparkan, paling tidak Rini Intama dalam puisinya berjudul LIMA NOVEMBER telah berhasil menyampaikan tentang risalah kematian. Rini berbicara kematian namun tak terkesan menggurui. Kematangan penyair dalam menyampaikan imajinasi telah teruji dengan baik. Demikian kajian kematian yang bisa saya paparkan dalam puisi yang ditulis oleh penyair Rini Intama.


Terlepas dari plus minusnya penyampaian biarkan sejarah yang membahas dan menjelaskan kepada generasi berikutnya. Akhirnya saya haturkan selamat membaca, menelaah dan mengapresiasi. Untuk penyairnya saya haturkan alfu mabruk


Kamar Hati, 13 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar