Selasa, 29 Januari 2019

Imam Bonjol dan PR yang Belum Selesai

(Sebuah Telaah Atas Puisi Bambang Widiatmoko Berjudul Sajadah Batu) 
Oleh Moh. Ghufron Cholid

Berbicara puisi adalah berbicara nafas lain dari waktu, yang di masa yang lain masih menjadi ingatan yang kuat dan menjadi jalan mempertajam kepekaan. Moh. Ghufron Cholid

Bertemu dan berhadapan secara langsung dengan puisi, semacam pertarungan yang tak usai. Saya kerap diserbu rasa penasaran dan tak jarang pula didekap kegelisahan.
Puisi selalu menjadi jalan kesaksian yang antik dari seorang penyair. Ianya bisa menjadi harapan, kecaman bisa pula menjadi jalan menjadikan dari lebih peka dan lebih menghargai perjuangan orang lain.
Bambang Widiatmoko dengan puisinya berjudul SAJADAH BATU, semakin mempertegas anggapan bahwa jiwa yang jawara takkan pernah sujud kepada ketakberdayaan. Jiwanya selalu memiliki pancaran cahaya yang mampu memikat sukma.
Kalau boleh saya ingin mengistilahkan puisi ini sebagai tafsir penyair atas sosok kharismatik bernama Imam Bonjol, jenisnya puisi persembahan jika meminjam istilah penyair Saifuddin Kojeh,  meski tak diimbuhkan hands (:)  selepas judul sebagai tujuan dipersembahkan pada seseorang.
Jiwa yang petarung,  selalu memiliki cara unik dan menarik untuk menunjukkan keistiqamahan dan ini dipotret secara apik oleh penyair Bambang Widiatmoko, Dulu Tuanku Imam Bonjol diasingkan/Dan melakukan salat lima waktu beralas batu//.
Saya pun telah menemukan kunci mengapa puisi ini diberi judul SAJADAH BATU, namun yang lebih penting dua larik ini juga menjadi penegas bahwa bumi adalah sajadah,  tempat seorang hamba menerjemahkan diri sebagai sosok yang memiliki Tuhan yang layak disembah. Di samping itu juga, berfungsi sebagai penegas bahwa sejatinya Allah tidak memberi kerumitan dalam beribadah. Salat bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja sesuai waktu salat yang telah ditegaskan.
Ada yang pelan-pelan membuat saya mengernyitkan dahi,  meski dua larik ini (Kini aku mencoba salat did atas batu itu/Tapi entahlah-bagaimana memaknai sejarah kelu?) menjadi semacam autokritik penyair tetap saja menjadi tamparan yang dahsyat bagi saya selaku pembaca.
Betapa cinta bukan sekedar kata, ianya mesti menjadi laku yang menggugah sukma. Betapa Imam Bonjol memang sangat layak menjadi tokoh dan ditokohkan. Dan betapa jalan cinta yang terang benderang telah dicontohkan oleh leluhur baik sebagai seorang hamba maupun seorang pejuang. Tinggal kita menentukan posisi masing-masing. Pilihan tersebut kembali kepada tiap diri dalam memaknai.
Secara keseluruhan, Bambang Widiatmoko bisa dikatakan berhasil dalam menghadirkan sosok Imam Bonjol selebihnya adalah PR kita dalam menentukan posisi baik sebagai seorang hamba maupun sebagai seorang pejuang.

People Daya, 30 Januari 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar