Selasa, 15 Januari 2019

Narudin dan Keterjebakan Penyair Dalam Wacana yang Dipersepsikan Sendiri


Oleh Moh. Ghufron Cholid

Kamis, 3 Oktober 2018 adalah pertemuan saya dengan puisi berjudul Penyair karya Narudin Pituin dalam buku puisi yang diberi nama Di Atas Tirai-tirai Berlompatan, kabarnya buku ini sempat memperoleh anugerah CHS 2018, namun saya tak hendak mengulas  bukunya secara keseluruhan melainkan membahas puisi  dilabeli nama Penyair.

Penyair adalah sebuah bentuk penghargaan yang sangat artistik sehingga dalam pandangan Islam keberadaan penyair begitu disorot, kendati dalam kenyataannya, Penyair tak pernah ditemukan dalam tanda pengenal resmi  di dalam maupun di luar negeri. Baik di dalam E-KTP maupun di pasport.

Saya ingin mengenal lebih dekat apa yang disebut penyair di mata seorang Narudin Pituin yang kerap ucapannya maupun tulisannya menjadi sorotan, terlepas dari pro dan kontra yang dilakukan penyairnya, itu merupakan bidang yang lain, sebab tulisan ini disajikan tak untuk menyoroti penyairnya melainkan menyoroti penyair yang diwacanakan dalam puisinya.

Puisi ini dimuat di Majalah Sastra Horison, Tahun XLVIII, No. 4/2014, April 2014) dan diletakkan dalam antologi puisi tunggalnya di hlaman 40. Tersaji dalam satu bait.

Narudin menulis Penyair tak pernah menulis puisi/dengan tangan/dengan biji cahaya atau buah kegelapan./ bila kita membaca puisi ini secara berulang, tampaknya Narudin menempuh jalan akrobat bahasa, tanda titik adalah jeda yang lama dan penanda bahwa sebuah pandangan telah usai diutarakan.

Membaca larik-larik yang saya hadirkan secara berulang, tampaknya kita harus berpikir keras utuk memahami maksud larik-larik ini dihadirkan. Seakan ada konsentrasi yang begitu pecah. Kalau tidak mau dikata penyair mengalami kebuntuan ide.

Yang muncul berikutnya adalah pertanyaan jika memang benar penyair tak pernah menulis puisi dengan tangan, dengan biji cahaya atau buah kegelapan? Lalu dengan apa penyair menuis puisi? Pertanyaan kedua kenapa penyair menlis atau sekan memberi pilihan kalau tidak biji cahaya (kebaikan) ya buah kegelapan (kejahatan atau julukan kelam lainnya.

Kendati penyair mengungkap maksud kegelapan dan cahaya di tiga larik berikutnya menurut pembacaan saya belum membri jawaban. Narudin masih terjebak dalam apa yang diwacanakan.

Lalu Narudin menulis, Penyair menulis puisi dengan penglihatan baru/dan sedikit Cahaya. Dua larik penutup ini, paling tidak kegamangan Narudin dalam mempersepsipkan penyair menulis puisi mulai menemukan titik terang.

Barangkali yang dimaksud menulis puisi di sini adalah cara penyair mendapatkan ide, kalaupun dipersepsikan demikian jika kita kembalikan kepada tiga larik pembuka, tetap saja Narudin masih menemukan jalan buntu dengan apa yang telah dipersepsikan. Bukankah penglihatan baru dan sedikit Cahaya juga merupakan bagian dari biji cahaya (mata hikmah).

Paopale Daya, 3 Oktober 2018
Moh. Ghufron Cholid dalah namapena Moh. Gufron, S.Sos.I, seorang pecinta puisi yang pernah menjadi bagian dari Sanggar Sastra Al-Amien (SSA). Alamat Rumah Pondok Pesantren Al-Ittihad Junglorong Komis Kedungdung Sampang Madura. Hp 087850742323

Tidak ada komentar:

Posting Komentar