Selasa, 15 Januari 2019

PUISI DAN PENYAIR BERNAFAS CINTA

Telaah Atas Cara Penyair Mahroso Doloh (Penyair Patani) dan Penyair Kurnia Hidayati Mengungkap Cinta)
Oleh Moh. Ghufron Cholid
Mahroso Doloh
Kiblat Cinta

Kemana akan kusimpan sebuah cinta
jika aksara tak menjadi kata-kata
bahkan terucap hanya terpaksa
menjadi ombak hanya ketika

dalam puisi menggunung cinta
mencari arah tak terhingga
tak ingin cinta;
yang menjadi titi neraka

dengan cinta; beribu cinta
membuat taubat di sela-sela malam
menderai gerimis hitam
menjadi secawan zamzam

dengan cinta; beribucinta
angin, panas, dan hujan
semua terasa pada telubuk kalbu
hanya mencari kiblat cinta

Patani, September 2014

Kurnia Hidayati
Batang, Suatu Malam

lengang jalan ini, senantiasa memajang lanskap muram
lampu-lampu berbaris haru
mengeram masygul dan sesunggukan, menangisi anak-anak puisi yang piatu

mobil-mobil melintas menyuguhkan suara klakson yang lekas
dirampas udara tanpa aba-aba
seperti pekik tajam bunyi yang memecah membran sunyi
ketika malam bagai lambaian tangannaik turun,
mengingkari detik jam yang berdegup
diintai mimpi

Batang, 2014
Dalam sebuah buku judul merupakan bagian inti yang menjadi sorotan oleh sebab ianya begitu memiliki peranan vital dan dalam judul pulalah seorang penyair dituntut memiliki cita rasa seni.

Ada yang mencoba peruntungan dengan memberikan judul yang sudah familiar sehingga judulnya mudah diingat oleh pembacanya, ada pula yang membuat judul yang kadang tak diambil dari puisi yang ada di dalam buku guna untuk menyedot perhatian.

Tampaknya Mahroso Doloh dan Kurnia Hidayati adalah dua penyair yang memiliki cita rasa yang sama yakni memilih salah satu puisi dari sekian puisi yang ada dalam buku untuk judul buku. Yang berbeda adalah Mahroso Doloh lebih memilih judul buku yang mudah diucapkan dan mudah diingat seperti Kiblat Cinta, sementara Kurnia Hidayati mempertaruhkan seni judul yang menarik dan mengundang penasaran sebab ianya jarang kita dengar dalam keseharian yakni Senandika Pemantik Api.

Dalam tulisan ini saya memilih satu puisi milik Mahroso Doloh sebab puisi tersebut adalah puisi yang dijadikan judul buku lewat pertimbangan bahwa Kiblat Cinta adalah puisi yang menjadi pusat atau intisari pandangan penyairnya dalam mengurai hidup dari sisi cinta. Namun dalam buku senandika pemantik api karya Kurnia Hidayati saya sengaja memilih puisi Batang, Suatu Malam sebagai bahan bahasan tulisan ini karena pertimbangan Batang adalah tanah kelahiran penyair dan saya ingin mengungkap pandangan penyair atas tanah kelahirannya.

PUISI YANG MENGUNGKAP MISTERI

KIBLAT CINTA adalah judul buku puisi Mahroso Doloh (Penyair Patani), yang kini bermukim di Purwokerto. Buku ini terdiri atas empat sub bab yakni 1. Lorong-lorong Cinta berisi 50 puisi, 2. Untukmu Patani berisi 11 puisi, 3. Untuk Pohon Cinta berisi 7 puisi, 4. Catatan Indonesia berisi 32 puisi.

Mahroso Doloh terbilang penyair yang menyorot tanah airnya Patani juga menyorot tanah rantaunya bernama Indonesia meski porsi sorotan pada Patani hanya berisi 11 puisi yang diletakkan khusus dalam sub bab Untukmu Patani dan 32 puisi membahas Indonesia yang diletakkan khusus di sub bab Catatan Indonesia secara porsi isi lebih banyak membahas rupa Indonesia dalam puisi, tak menutupi semangat juang Mahroso untuk memulihkan cinta Patani dan upaya meredakan hujan hujan airmata dengan jalan puisi.

Kiblat Cinta sengaja saya pilih sebagai bahan bahasan karena dalam hemat saya puisi ini mewakili beragam pandangan dari puisi-puisi yang dilahirkan dan diabadikan dalam buku bernama Kiblat Cinta yang memiliki misi utama untuk menebar cinta, meredakan hujan airmata dan menggugat ketimpangan yang ada.

Senandika Pemantik Api adalah buku puisi karya Kurnia Hidayati, seorang penyair perempuan kelahiran Batang. Dalam mengenalkan pandangannya, Kurnia Hidayati juga membagi puisi-puisinya ke dalam beberapa sub bab yakni 1. Senandika berisi 16 puisi, 2. Petilasan Waktu berisi 11 puisi, 3. Labirin Sunyi berisi 19 puisi, 3. Ziarah Kembang Kamboja berisi 7 puisi, 4. Tulang Rusuk Payung berisi 5 puisi.

Mahroso Doloh (Penyair Patani) dan Kurnia Hidayati (Penyair Batang), memiliki kesamaan yakni mengambil judul buku puisi dari salah satu puisi yang dimuat ke dalam buku. Kesamaan kedua membagi bukunya ke dalam empat sub pembahasan. Namun dalam pembahasan ini saya memilih puisi Kiblat Cinta karya Mahroso Doloh dan Batang, Suatu Malam karya Kurnia Hidayati atas pertimbangan, Kiblat Cinta merupakan intisari dari tema cinta yang diusung oleh Mahroso Doloh dalam bukunya, sementara Batang, Suatu Malam karya Kurnia Hidayati dipilih karena Batang merupakan tanah kelahiran penyair dan mengungkap nafas penyair akan tanah kelahirannya menjadi hal yang menarik.

Kiblat Cinta disampaikan dalam empat bait yang membahas tentang cinta berikut kemelut yang menyertainya sementara Batang, Suatu Malam oleh Kurnia Hidayati disampaikan dalam dua bait yang menggambarkan hidup di Batang beserta kegetiran yang meriasnya.

Dalam bait pertama Mahroso Doloh, penyair dari Patani menulis, Kemana akan kusimpan sebuah cinta/jika aksara tak menjadi kata-kata/bahkan terucap hanya terpaksa/menjadi ombak hanya ketika//

Ada masa getir di mana seorang manusia tak henti ditumbuhi bimbang, ianya menemukan jalan buntu dan kehilangan cara terbaik dalam mengekalkan cinta. Masa sulit tersebut membuat manusia dalam posisi serba salah. Keterpaksaan yang dipelihara hanya menimbulkan gejolak dalam jiwa dan tak ada ketenangan menerpa.

Dalam bait kedua Mahroso Doloh mengungkap kemungkinan dan harapan yang hendak diraih, ianya pun menulis, dalam puisi menggunung cinta/mencari arah tak terhingga/tak ingin cinta;/yang menjadi titi neraka//

Kemungkinan tentang adanya cinta yang menggunung diungkapkan Mahroso Doloh bermukim dalam puisi. Puisi dipercaya bisa menjadi jalan alternatif untuk menemukan dan menebarkan cinta dengan harapan tak ada lagi jalan kepedihan memanjang dan dipajang.

Bait ketiga merupakan ketegasan yang ditampakkan Mahroso Doloh dalam menepikan duka, mengusir segenap kemelut dan menukar kamar yang gelap, pengap dengan jalan cahaya, yakni menjadikan sela-sela malam sebagai waktu bertaubat. Sela-sela malam bisa kita tafsirkan waktu malam bisa pula kita tafsirkan saat melakukan kesalahan kita mengkondisikan diri untuk bertaubat, demikian yang ditegaskan oleh Mahroso agar kita tak terlalu larut dalam jalan kelam.

Bait keempat adalah bait pamungkas yang menggambarkan kehidupan manusia yang tak henti berada dalam pencarian dan yang menjadi pusat pencarian adalah kiblat cinta. Mengapa mesti Kiblat Cinta yang tak pernah usai dicari karena Kiblat Cinta adalah bagian tervital dari hidup. Jika dalam agama Islam kiblat shalat adalah ka'bah maka sejatinya kiblat cinta adalah Allah sebab ianya pusat segala cinta. Sebab ampunanNya lebih besar dari amarahNya, sebab karuniaNya tak pernah tuntas diceritakan meski laut jadi tinta dan langit jadi kertasnya.

Intisari dari puisi kiblat cinta adalah gambaran manusia dalam mencari kiblat cinta dan ketika jalan yang ditempuh sangat kelam, sangat menakutkan maka taubat bisa dijadikan jalan untuk menemukan kiblat cinta sementara kiblat cinta itu sendiri adalah Allah.

Kurnia memotret kehidupan di Batang dalam dua bait. Ada rupa perih pedih yang diperkelkan semacam suasana hidup yang muram. Ada gambaran yang menarik di samping Batang yang muram yakni lampu-lampu berbaris haru. Lalu muncul dalam benak seperti apakah lampu-lampu berbaris haru? apakah ianya kiasan tentang perjuangan di lampu merah tentang bocah-bocah yang tak menyerah pada ketakberbadayaan atau ibu-ibu yang mempertaruhkan diri berjuang demi kembali menghadirkan senyum putra-putrinya atau pula lukisan para lelaki yang tak lelah berjuang demi membahagiakan orang-orang yang dicintai sehingga ianya melahirkan haru bagi tiap mata hati yang berhasil terketuk oleh tangan takjub. Tak hanya itu, Kurnia juga mengabarkan  tentang nasib anak-anak puisi yang piatu di bait pertamanya, berikut penuturan Kurnia lengang jalan ini, senantiasa memajang lanskap muram/lampu-lampu berbaris haru/mengeram masygul dan sesunggukan, menangisi anak-
anak puisi yang piatu//

Ternyata Batang juga memiliki rupa yang dirias kesibukan  dan kehidupan yang tak pernah sepi dari pertarungan-pertarungan yang memilukan dan ratapan bocah-bocah terabaikan, yang dalam  penuturan penyair digambarkan menangisi anak-anak puisi yang piatu.

Dalam bait kedua, Kurnia menuturkan kehidupan di Batang yang sudah  modern, mobil-mobil melintas menyuguhkan suara klakson yang
lekas
dirampas udara tanpa aba-aba
seperti pekik tajam bunyi yang memecah membran sunyi
ketika malam bagai lambaian tangannaik turun,
mengingkari detik jam yang berdegup
diintai mimpi

Kehidupan modern tak bisa ditolak kiranya demikian yang hendak ditegaskan oleh Kurnia dan hal itulah yang kini dialami oleh Batang, tempat penyair Kurnia dilahirkan. Di sisi yang lain Kurnia juga mengungkap keprihatinan pada Batang sebab kemodernan menelan keakraban, harta warisan moyang yang paling mahal.

Madura, 4 Juli 2015
Biodata Penulis
Hanya seorang penikmat puisi, yang lahir dan dibesarkan di dunia pesantren.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar